Sabtu, 16 April 2011

Sistim Reward and Punishment

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan ilmu-ilmu sosial di abad ke-duapuluh dan permulaan abad ke-duapuluh satu telah menyuburkan tumbuhnya berbagai sistem yang agak berbeda terhadap tujuan organisasi yang selama ini dicetuskan. Salah satu tujuan manajemen sumber daya manusia, yaitu memastikan organisasi memiliki tenaga kerja yang bermotivasi dan berkinerja tinggi, serta dilengkapi dengan sarana untuk menghadapi perubahan yang dapat memenuhi kebutuhan pekerjanya. Sumber daya manusia yang kompetitif merupakan sumber daya yang mampu bersaing secara sehat dan menanggapi suatu perkembangan baru dengan cara yang bijak. Sumber daya manusia yang kompetitif dan profesional merupakan suatu tuntutan dan tantangan dalam menanggapi fenomena dalam konteks pembangunan dan pembaharuan diberbagai sendi-sendi kehidupan rakyat Indonesia sesuai tuntutan zaman.
Untuk meningkatkan kinerja yang efektif, maka instansi pemerintahan atau organisasi dapat memperhatikan hal yang paling utama yakni pemenuhan kebutuhan pegawainya. Untuk memenuhi kebutuhannya, maka diperlukan adanya imbalan atau kompensasi sebagai bentuk motivasi yang diberikan kepada pegawai. Manajemen kompensasi penting untuk meningkatkan motivasi pegawai mencapai prestasi yang terbaik. Prinsip penting dalam sistem manajemen kompensasi adalah prestasi yang tinggi harus diberi penghargaan (reward) yang layak dan apabila melanggar aturan dalam organinisasi harus diberikan sangsi yang setimpal serta adil. Gibson, dkk (2000 : 179) dalam Wibowo (2007:149) menyatakan tujuan utama program penghargaan (reward) adalah untuk menarik orang yang cakap untuk bergabung dalam organisasi, menjaga pegawai agar datang untuk bekerja, dan memotivasi pegawai untuk mencapai kinerja.Kekeliruan dalam menerapkan sistem kompensasi, khususnya sistem penghargaan akan berakibat timbulnya demotivasi dan tidak adanya kepuasan kerja dikalangan pegawai dan apabila hal tersebut terjadi dapat menyebabkan rendahnya kinerja baik pegawai maupun organisasi. Dalam kenyataannya organisasi menerapkan sistem manajemen kompensasi disesuaikan dengan kondisi masing-masing
Tentu konsep ini juga menjadi landasan rasional nasional yang secara umum merupakan usaha meningkatkan sumber daya manusia (SDM) dengan
ditetapkannya Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 yang diubah dengan undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah diharapkan menjadi birokrasi yang efektif. Dalam Undang-undang disebutkan, pemerintah hanya mengelola enam bidang saja yaitu: politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal dan agama serta beberapa bidang lainnya yang membawa implikasi baru dalam manajemen publik dimana domain pemerintah berbeda.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, peran birokrasi memiliki kedudukan dan fungsi signifikan. Oleh karena itu perubahan peranan birokrasi di tengah masyarakat senantiasa menjadi sangat vital. Arah perubahan sudah dimulai sejak masa reformasi sampai saat ini. Dorongan internal tersebut kemudian melahirkan beberapa kebijakan diantaranya, pertama Tap MPR RI Nomor XI/MPR/1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih, dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Kedua, undang-undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketiga, peraturan pemerintah Nomor 1 tahun 1999 Tentang Komisi Pemeriksa Kekayaan Negara. Keempat, Undang-undang Nomor 32/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berbagai kebijakan tersebut menunjukkan keseriusan dan tekad pemerintah secara sungguh-sungguh menuju penyelenggaraan pemerintahan yang bersih. Namun demikian praktek-praktek KKN yang tumbuh subur sejak pemerintahan orde baru cenderung meningkat saat pemerintah sedang gencar-gencarnya melakukan pembenahan aparatur pemerintah.
Sumber daya aparatur saat ini dikonotasikan dengan sumber daya manusia (SDM) dengan profesionalisme rendah yang terlihat dari indikator pelayanan yang tidak optimal, penggunaan waktu tidak produktif, belum optimalnya peran dan inovasi dalam menjalankan tugas.
Beberapa fakta berikut ini menunjukkan rendahnya sistem reward dan punishment pada sejumlah organisasi bisnis terkemuka di dunia menunjukkan bahwa pertumbuhan dan daya kompetitif yang dimiliki dihasilkan melalui kompetensi khusus yang diciptakan melalui pengembangan keterampilan tinggi bagi karyawan, kekhasan kultur organisasi, sistem maupun proses manajemennya. Weatherly (2003) menemukan sekitar 85 persen dari nilai pasar perusahaan (kinerjanya) ditentukan oleh SDM. Faktanya, praktik manajemen pada tataran proses organisasional justru masih menunjukkan rendahnya perhatian terhadap peran SDM. Tekanan perubahan lingkungan bisnis yang semakin kompleks dan sulit diprediksi cenderung dihadapi dengan melakukan perubahan struktural dan kultural yang tetap menonjolkan investasi fisik terutama teknologi dan peralatan. Survei pada 54 perusahaan menemukan bahwa 51 diantaranya hanya sedikit bahkan tidak melakukan penilaian SDM (pengukuran kuantitatif) terhadap upaya departemen SDM (Ramlall, 2003). Dari 968 perusahaan kurang dari 10 persen yang memiliki prosedur estimasi formal untuk menilai dan mengukur SDM mereka (Becker et al., 1998). Relatif masih rendahnya komitmen organisasi pada investasi SDM terkait dengan tingginya biaya yang harus ditanggung organisasi atau terjadinya proses anomali.
Demikian juga fakta yang menunjukkan rendahnya reward dan punishment pada pegawai di indonesia. Kemendiknas telah mengumumkan adanya guru malas yang jumlahnya 500 ribu dari sebanyak 2,6 juta orang (dilansir Kemendiknas, SINDO, 26 Agustus 2010). Disusul kemudian, pengumuman serupa beberapa kantor Kementerian di daerah, serta beberapa pemerintah kabupaten/kota.
Fenomena globalisasi membawa implikasi pada perubahan aktivitas bisnis di Indonesia dimana berbagai organisasi bisnis perusahaan didorong untuk mampu bersaing baik dalam lingkup domestik maupun lintas antar negara. Semua perusahaan cendrung berorientasi memenangkan persaingan (winner) dan sejalan dengan itu semakin disadari perlunya memperhatikan masalah reward dan Punishment karyawan.
Penomena diatas memberi gambaran secara sekilas tentang rendahnya motivasi kerja pegawai di indonesia, dimana rewad dan panishent pegawai di Indonesia masih jauh seperti yang diharapkan. Berkaitan dengan fenomena tersebut, setidak-tidaknya ada dua hal yang berkaitan dengan rendahnya semangat kerja saat ini: issu seputar masalah sistem reward dan punishment
Observasi pada Kantor Perum Damri Makassar menunjukkan bahwa Pimpinan cenderung memberikan kompesasi terhadap para pegawainya yang dihitung per bulan, Sesuai dengan pangkat dan golongannya dan memberikan hukuman bagi yang melanggar aturan, Akan tetapi kenyataannya masih terdapat para pegawai yang motivasi kerjanya rendah di lingkungan Perusahaan sehingga keberhasilan perusahaan masih kurang efektif atau belum optimal dan masih perlu ditingkatkan.
Perum Damri Makassar merupakan salah satu perusahaan BUMN yang berwewenang untuk menyelenggarakan pengusahaan pelayanan angkutan umum dan barang dengan menggunakan kendaraan bermotor, yang dalam pelaksanaan tugas pelayanan pada masyarakat dituntut adanya kinerja yang efektif dari para pegawai. Sistem reward dan punishment pada karyawan beragam, seperti yang dapat dilihat dari lingkungan Perusahaan Perum Damri Makassar, dimana ada karyawan yang sistem reward dan punishmentnya kurang baik, cukup baik serta memuaskan.
Fenomena rendahnya sistem reward dan punishment pada karyawan Perum Damri Makassar dapat dilihat atas adanya indikasi antara lain menurunnya semangat kerja pegawai, pegawai punya kemampuan tetapi tidak bergairah untuk bekerja, rendahnya tingkat disiplin, tanggung jawab terhadap tugas yang tidak dapat diselesaikan tepat waktu, merasa tidak dihargai atas prestasi kerja dan adanya kecendrungan tidak mematuhi ketentuan atau perintah.
Secara teoritis, dikenal banyak sistem reward dan punishment yang diarahkan untuk memajukan perusahaan seperti yang diuraikan. (Gibson, dkk. 2000 : 179) dalam Wibowo (2007:149) menyatakan tujuan utama program penghargaan (reward) adalah untuk menarik orang yang cakap untuk bergabung dalam organisasi, menjaga pegawai agar datang untuk bekerja, dan memotivasi pegawai untuk mencapai kinerja. Hazli (2002:30) mendefinisikan reward yaitu hadiah dan hukuman dalam situasi kerja, hadiah menunjukkan adanya penerimaan terhadap perilaku dan perbuatan, sedangkan hukuman menunjukkan penolakan perilaku dan perbuatannya.
Fakta-fakta yang dijumpai pada observasi awal tersebut sedikitnya telah menunjukkan terdapatnya perbedaan antara pandangan teoretis mengenai sistem reward dan punishment pada karyawan dengan kenyataan dilapangan. Karena itu asumsi sementara yang dapat ditarik adalah sistem reward dan panihment terhadap karyawan, mungkin memiliki peluang yang sama dalam keberhasilan perusahaan, sebagaimana juga kekeliruan dalam pemberlakuan sistem reward dan punishment terhadap kekurang berhasilan perusahaan. Dan jika asumsi ini dikaitkan dengan fakta-fakta mengenai sistem reward dan punishment yang dilaksanakan Pimpinan Perum Damri Makassar, maka dapat diduga bahwa informasi yang didasari oleh penelitian empiris menyangkut faktor- faktor yang mempengaruhi sistem reward dan punishment dilingkungan Perum Damri Makassar, relatif masih kurang. Kurangnya informasi empiris inilah yang mungkin menjadi penyebab kegagalan bagi penetapan sistem reward dan punishment terhadap keberhasilan perusahaan.
Dengan pemikiran tersebut, penulis tertarik melakukan penelitian yang berkaitan dengan sistem reward dan punishmnet pada Perum Damri Makassar, yang dikategorikan berhasil serta faktor-faktor yang memperngaruhi sistem reward dan panishmnet tersebut.




B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah:
1. Magaimana Gambaran sistem reward dan punishmnet yang diterapkan oleh Pimpinan Perum Damri Makassar yang dikategorikan berhasil.
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi sistem reward dan punishmnet yang diterapkan oleh Pimpinan Perum Damri Makassar yang dikategorikan berhasil.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah :
1. Untuk mendesksipsi Gambaran sistem reward dan punishmnet yang diterapkan oleh Pimpinan Perum Damri Makassar yang dikategorikan berhasil.
2. Untuk mengidentifikasi faktor-faktor apa yang mempengaruhi sistem reward dan punishmnet yang diterapkan oleh Pimpinan Perum Damri Makassar yang dikategorikan berhasil.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis :
Manfaat teoritis yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai bahan referensi bagi yang berminat untuk memperdalam teori yang berkaitan dengan sistem reward dan punishmnet yang diterapkan oleh pimpinan dalam organisasi.

2. Manfaat praktis
Manfaat praktis yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi pimpinan Perum Damri Makassar tentang keefektifan sistem reward dan panishmnet. Dan yang kedua, untuk memberikan sumbangan pemikiran mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi sistem reward dan punishmnet yang dikategorikan berhasil


















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Sistem Reward dan punishment
Manajemen sumberdaya manusia merupakan salah satu upaya yang sangat penting dalam peningkatan kinerja pegawai. Salah satu yang berpengaruh adalah pemberian kompensasi terhadap setiap aktivitas yang dilakukan. Pemberian kompensasi merupakan salah satu pemenuhan kebutuhan fisik, yang mempengaruhi motivasi yang pada gilirannya mempengaruhi perilaku pegawai. Oleh karena itu manajemen kompensasi penting untuk meningkatkan motivasi pegawai mencapai prestasi yang terbaik.
Pemberian kompensasi berupa penghargaan (reward) yang tepat dalam arti memenuhan kebutuhan karyawan secara adil dan layak merupakan prinsip penting dalam sistem manajemen kompensasi. Manajemen kompensasi yang baik adalah kompensasi yang berorientasi pada pemberian penghargaan, karena sistem penghargaan akan mendorong manajemen untuk memperlakukan dan menempatkan karyawan pada posisi yang terhormat atau dihormati dan berharga.
Reward artinya ganjaran, hadiah, penghargaan, atau imbalan. Dalam konsep manajemen, reward merupakan salah satu alat untuk meningkatkan motivasi para pegawai. Metode ini bisa meng-asosiasi-kan perbuatan dan kelakuan seseorang dengan perasaan bahagia, senang, dan biasanya akan membuat mereka melakukan suatu perbuatan yang baik secara berulang-ulang. Selain motivasi, reward juga bertujuan agar seseorang menjadi semakin giat dalam usaha memperbaiki atau meningkatkan prestasi yang telah dicapainya. Sementara punishment diartikan sebagai hukuman atau sanksi yang diberikan ketika terjadi pelanggaran.
Pemberian penghargaan berupa reward dan punishment tidak dapat dilakukan tanpa alasan yang rasional oleh karena itu organisasi harus memiliki mekanisme reward dan punishment yang jelas. Mekanisme atau proses pemberian reward dan panishment melibatkan beberapa variabel seperti motivasi, kinerja, kepuasan, keadilan dan kepatuhan pada peraturan yang berlaku dalam organisasi.

B. Sistem Reward dan punishment Dalam Pandangan Teoritis
Teori yang sangat berpengaruh dalam teori humanistik ini adalah Theory of Human Motivation yang dikembangkan oleh Abraham Maslow (1954). Maslow mengemukakan gagasan hirarki kebutuhan manusia, yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu deficiency needs dan growth needs. Deficiency needs meliputi (dari urutan paling bawah) kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki, dan kebutuhan akan penghargaan. Dalam deficiency needs ini, kebutuhan yang lebih bawah harus dipenuhi lebih dulu sebelum ke kebutuhan di level berikutnya. Growth needs meliputi kebutuhan kognitif, kebutuhan estetik, kebutuhan aktualisasi diri, dan kebutuhan self-transcendence. Menurut Maslow, manusia hanya dapat bergerak ke growth needs jika dan hanya jika deficiency needs sudah terpenuhi. Hirarki kebutuhan Maslow merupakan cara yang menarik untuk melihat hubungan antara motif manusia dan kesempatan yang disediakan oleh lingkungan (Atkinson, 1983).


Dalam Manajemen sumber daya manusia sistem reward dan punishment merupakan dua bentuk metode dalam memotivasi seseorang untuk melakukan kebaikan dan meningkatkan prestasinya. Kedua metode ini sudah cukup lama dikenal dalam dunia kerja. Tidak hanya dunia kerja, dalam dunia pendidikanpun kedua metode ini kerap kali digunakan. Namun selalu terjadi perbedaan pandangan, mana yang lebih diprioritaskan antara reward dan punishment.
Berbagai definisi reward dikemukakan oleh para ahli, seperti Hazli (2002:30) mendefinisikan reward yaitu hadiah dan hukuman dalam situasi kerja, hadiah menunjukkan adanya penerimaan terhadap perilaku dan perbuatan, sedangkan hukuman menunjukkan penolakan perilaku dan perbuatannya. Nugroho (2006:5) juga mengatakan bahwa reward artinya ganjaran, hadiah, penghargaan atau imbalan. Reward merupakan salah satu alat untuk meningkatkan motivasi para pegawai Metode ini bisa mengasosiasikan perbuatan dan kelakuan seseorang dengan perasaan bahagia, senang, dan biasanya akan membuat mereka melakukan suatu perbuatan yang baik secara berulang-ulang. Selain motivasi, reward juga bertujuan agar seseorang menjadi giat lagi usahanya untuk memperbaiki atau meningkatkan prestasi yang telah dicapai.Berbeda dengan pernyataan tersebut, Istiara (2008) mendefinisikan reward sebagai suatu penghargaan terhadap suatu karya yang telah dihasilkan ataupun telah dilakukan oleh seseorang.
Wahyuningsih (2009) juga mendefinisikan reward adalah penghargaan/hadiah untuk sesuatu hal yang tercapai. Sedangkan punishment adalah hukuman atas suatu hal yang tidak tercapai/pelanggaran. Hukuman seperti apa yang harus diberikan. Setiap orang pasti beda persepsi dan beda pendapat. Pada dasarnya keduanya sama-sama dibutuhkan dalam memotivasi seseorang, termasuk dalam memotivasi para pegawai dalam meningkatkan kinerjanya. Keduanya merupakan reaksi dari seorang pimpinan terhadap kinerja dan produktivitas yang telah ditunjukkan oleh bawahannya, hukuman untuk perbuatan jahat dan ganjaran untuk perbuatan baik. Melihat dari fungsinya itu, seolah keduanya berlawanan, tetapi pada hakekatnya sama-sama bertujuan agar seseorang menjadi lebih baik, termasuk dalam memotivasi para pegawai dalam bekerja.
Berdasarkan definisi reward dan punishment, pada prinsipnya kedua pernyataan tersebut menekankan bahwa reward diberikan kepada seseorang sebagai apresiasi terhadap kinerjanya sehingga yang bersangkutan termotivasi untuk melakukan suatu pekerjaan menjadi lebih baik lagi. Qodriyah (2008), mengatakan bahwa penghargaan (reward) sangat penting untuk meningkatkan kegiatan yang produktif dan mengurangi kegiatan yang kurang produktif. Dengan reward, pegawai akan terangsang untuk meningkatkan kegiatan yang positif dan produktif. Penghargaan ini akan lebih bermakna apabila dikaitkan dengan prestasi pegawai secara terbuka sehingga setiap pegawai memiliki peluang untuk meraihnya. Contohnya adalah kepada pegawai yang bekerja profesional, produktif, terampil dan rajin.
Selain definisi reward sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Francisca (2006:2) memfokuskan definisi reward sebagai hadiah atau bonus yang diberikan karena prestasi seseorang. Reward dapat berwujud banyak rupa. Paling sederhana berupa kata-kata seperti pujian adalah salah satu bentuknya.
Reward biasanya digunakan untuk mengendalikan jam kerja seseorang dalam organisasi (Raharja, 2006:10). Artinya, dengan reward seseorang bekerja dapat dilakukan tanpa ada kendali langsung dari pimpinan, melainkan dapat berjalan apa adanya sesuai evaluasi kinerja sebelumnya. Selebihnya, dengan reward seseorang dapat meningkatkan cara kerjanya tanpa harus dikendalikan pimpinan. Hal ini juga ditegaskan Gouillart and Kelly (dalam Raharja, 2006:12) bahwa reward yang diperoleh atau diharapkan akan diperoleh sebagai konsekwensi dari apa yang mereka kerjakan akan merubah perilaku manusia secara fundamental.
Jefrey Pfeffer (dalam Afiff, 2004J, juga mengomentari makna reward. Menurutnya promosi atau pertambahan penghasilan akan dipandang sebagai kenaikan gaji dan akan membekas sebagai reward indikator hanya selama kurang lebih 30 hari saja. Setelah itu ia hanya akan dilihat sebagai 'gaji' semata atau penghasilan rutin. Jeffrey juga menekankan sebagai berikut: "Bila para manajer hanya menggunakan insentif sebagai alat kompensasi untuk meningkatkan performance, maka hasilnya ada dua. Pertama, nothing will happen over the long run dan kedua, they (staff) will spend a lot more money. Jadi yang paling baik adalah membuat sistem yang berimbang antara intrinsic dan extrinsic rewards. Dengan kata lain, insentif dalam bentuk uang, harus tetap dan selalu disertai dengan pengakuan manajemen terhadap eksistensi dan kontribusi karyawan terhadap perusahaan.
Selanjutnya Gouillart dan Kelly (dalam Raharja, 2006:10) mengemukakan ada 3 sifat dalam membangun system reward yaitu; (a) mengaitkan system reward dengan tujuan organisasi, (b) memperluas sistem reward yang melampauhi batas-batas perusahaan, (c) mendorong orang-orang dalam organisasi menentukan reward sendiri.
Tujuan dan ukuran suatu organisasi atau instansi saling berkaitan dimana reward sebagai pengikat. Idealnya reward mencerminkan tujuan organisasi dan berkaitan dengan ukuran yang bersifat multidimensi yang akan mendorong kinerja orang dan organisasi secara keseluruhan. Seberapa jauh seseorang memberikan konstribusi terhadap pencapai tujuan organisasi sesuai dengan ukuran, visi dan misi organisasi menjadi dasar dalam menentukan sistem reward seseorang.
Memperluas sistem reward melampauhi batas-batas perusahaan mengandung arti bahwa system reward dengan mengaitkan pada jaringan di luar organisasi (external stakeholder) seperti pemasok, pelanggan mitra strategis, dan lain-lain. Pada organisasi pemerintah misalnya, reward tidak semata-mata ditekankan pada seberapa besar kuota yang dicapai oleh seseorang, tetapi juga dikaitkan dengan seberapa tinggi kepuasan masyarakat yang dilayani.
Dengan demikian, masyarakat merupakan bagian integral dari sistem pengukuran kinerja individual dan organisasi. Seperti juga reward terhadap pegawai, mereka akan memiliki motivasi tinggi atau rendah, tergantung kepada bagaimana organisasi atau instansi pemerintah memperlakukan mereka. Oleh karenanya dalam praktek, reward terhadap external stakeholder mungkin sulit dan bersifat tidak langsung. Kendati demikian, beberapa bentuk yang mungkin diberikan antara lain memberikan penghargaan, pelibatan dalam pertemuan atau berbagai seremoni organisasi dan sebagainya.
Intinya adalah bagaimana bentuk-bentuk reward dan punishment ini dikomunikasikan sehingga dirasakan oleh penerima sebagaimana yang diharapkan oleh organisasi. Mendorong orang-orang untuk menentukan reward-nya sendiri, karena setiap organisasi secara implisit memberi beban berupa sekumpulan tugas (a pack) pada pundak setiap orang, sebagai dasar partisipasi mereka dalam organisasi.
Gouillart dan Kelly (dalam Raharja, 2006:11) menyebutnya sebagai kontrak psikologis. Kontrak psikologis menurut Gouillart telah muncul dan berhasil di sejumlah perusahaan. Bentuk kontrak psikologis kalau dinyatakan dalam statement, kurang lebih sebagai berikut; "Anda adalah seorang individu yang bertanggung jawab terhadap hidup anda sendiri, beri kami (perusahaan) dedikasi (anda) dengan menumbuhkan dan menjadikan (perusahaan) Iebih baik, dan kami akan (memberi) anda kesempatan besar untuk berkembang dan hidup Iebih baik." Kontrak psikologis yang seimbang antar perusahaan dengan individu dicerminkan dalam suasana dimana perusahaan mengharapkan dedikasi dan loyalitas pekerja, sementara para pekerja juga menyadari (tahu) bahwa perusahaan akan memberikan reward kepada para pekerja dan keluarganya.
Krietner dan Kinicki (Wibowo, 2007) membagi reward menjadi exstrinsic reward dan Intrinsic reward. Penghargaan ekstrinsik adalah penghargaan eksternal terhadap pekerjaan seperti pembayaran, promosi dan jaminan sosial Gibson dkk (2000) menyatakan sebagai penghargaan finansial, material atau sosial dan lingkungan. Penghargaan ekstrinsik merupakan penghargaan yang bersifat eksternal yang diberikan terhadap kinerja yang telah diberikan oleh pegawai. Penghargaan ekstrinsik antara lain berupa penghargaan finansial (upah, gaji dan jaminan sosial), interpersonal (pengakuan dan kemampuan berinteraksi sosial tentang pekerjaan) dan promosi (mengangkat seseorang dengan mencocokkan orang yang tepat dengan pekerjaannya).
Sedangkan penghargaan intrinsik merupakan bagian dan pekerjaan itu sendiri, seperti tanggung jawab, tantangan, dan karakteristik umpan balik dari pekerjaan. Penghargaan intrinsik dapat dilihat dari penyelesaian pekerjaan, prestasi, otonomi, dan pengembangan pribadi.
Menurut Rosvinintia (2008:16), bahwa elemen dari total reward compensation : Instrinsik, merupakan non cash reward, antara lain career development, communication, non monetary recognition, performance management, dan work environment. Ekstrinsik, ada yang merupakan financial reward, yaitu compensation, benefit, penghargaan, bonus/insentif. Dan non financial reward, berupa training/pendidikan, piagam/piala, perlakuan istimewa. Tujuan reward stategy : To attrack, kandidat potensial yang diinginkan. To retain, pegawai yang mempunyai kinerja baik. To motivate, seluruh karyawan agar memiliki kinerja lebih baik dan lebih giat bekerja.
Gibson dkk (Wibowo, 2007) tujuan utama program penghargaan adalah untuk menarik orang yang cakap untuk bergabung dalam organisasi, menjaga pekerja untuk mencapai kinerja tingkat tinggi. Lebih lanjut Wibowo (2007) menyatakan bahwa penghargaan yang diberikan kepada individu diharapkan dapat meningkatkan motivasi pegawai karena merasa pekerjaannya dihargai sehingga meningkatkan kinerja pegawai.Disamping itu, penghargaan dan kinerja tinggi akan meningkatkan kepuasan pekerja atau pegawai.
Hal ini dipertegas lagi dengan penelitian tentang apa yang membuat individu mencapai tingkat kepuasan kerja yang menunjukkan hal sebagai berikut:
1. Kepuasan penghargaan merupakan fungsi atas seberapa banyak diterima dan seberapa besar individu merasa harus menerima.
2. Perasaan kepuasan individu dipengaruhi oleh perbandingan dengan apa yang terjadi pada orang lain.
3. Kepuasan dipengaruhi oleh seberapa puas pekerja atau pegawai terhadap penghargaan intrinsik dan ekstrinsik.
4. Orang berbeda tentang penghargaan mereka inginkan dan dalam kepentingan relatif penghargaan yang berbeda bagi mereka.
5. Beberapa penghargaan ekstrinsik memuaskan karena mengarah pada penghargaan lainnya.
Berdasarkan pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa upah merupakan penggantian atas jasa yang diberikan oleh para pekerja kepada pihak lain atau majikan. Dengan demikian, dalam pemberian upah, perusahaan-perusahaan perlu memperhatikan adil dan layak.

C. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Sintem Reward dan punishment
Teori Maslow mendorong penelitian-penelitian lebih lanjut yang mencoba mengembangkan sebuah teori tentang motivasi yang memasukkan semua faktor yang mempengaruhi motivasi ke dalam satu model (Grand Theory of Motivation), misalnya seperti yang diusulkan oleh Leonard, Beauvais, dan Scholl (1995). Menurut model ini, terdapat 5 faktor yang merupakan sumber motivasi, yaitu 1) instrumental motivation (reward dan punishment), 2) Intrinsic Process Motivation (kegembiraan, senang, kenikmatan), 3) Goal Internalization (nilai-nilai tujuan), 4) Internal Self-Concept yang didasarkan pada motivasi, dan 5) External Self-Concept yang didasarkan pada motivasi (Leonard, et.al, 1995). Hal yang dapat dijadikan kebijakan dalam penetapan sistem kompensasi menurut Mondy, Noe dan Premeaux (8th ed: 315) ada empat faktor, yaitu : faktor organisasi (The Organization), faktor pegawai (The Employee), faktor pasaran tenaga kerja (The Labor Market) dan jenis pekerjaan itu sendiri (The Job).
• Dari faktor organisasi (the organization), penetapan kompensasi harus di lihat dari sisi kebijakan manajemen, keadaan politik yang mempengaruhi organisasi dan kemampuan organisasi dalam melakukan pembayaran.
• Dari faktor pegawai (the employee) , penetapan kompensasi ini harus menyentuh hal-hal yang berkaitan dengan kinerja pegawai itu, pembayaran berdasarkan merit, variable gaji, pembayaran yang didasarkan pada keterampilan pegawai, pembayaran berdasarkan pada kompetensi, Senioritas pegawai, pengalaman kerja, hubungan keanggotaan dalam organisasi, potensinya, pengaruh politik dan yang terakhir adalah keberuntungan.
• Dari faktor pasaran tenaga kerja (the labor market), penetapan kompensasi juga harus melihat kompensasi yang berlaku secara umum di pasar tenaga keja, untuk itu organisasi dalam menetapkan system kompensasi ini haruslah melakukan survey pada organisasi lain, kelayakan, biaya hidup, organisasi buruh, tingkat social dan perundang-undangan ekonomi yang berlaku.
• Sedangkan dari faktor pekerjaan (the job), maka penetapan system kompensasi harus di dasari dengan, analisa jabatan (job analysis), uraian tugas pekerjaan (job description), evaluasi jabatan (job evaluation) dan terakhir penawaran secara kolektip (collective bargaining).
Mangkuprawira (2003) menyampaikan ada beberapa prinsip yang diterapkan dalam manajemen kompensasi, antara lain :
• Terdapatnya rasa keadilan dan pemerataan pendapatan dalam organisasi.
• Setiap pekerjaan dinilai melalui proses evaluasi pekerjaan dan kinerja atau performance.
• Mempertimbangkan keuangan organisasi.
• Nilai rupiah dalam sistem penggajian mampubersaing dengan harga pasar tenagakerja sejenis.
• Sistem penggajian yang baru dapat membedakan orang yang berprestasi baik dan yang tidak dalam golongan yang sama.
• Sistem penggajian yang baru harus dikaitkan dengan penilaian kinerja pegawai.
Pada umumnya pegawai akan menerima perbedaan kompensasi yang berdasarkan tanggungjawab, kemampuan, pengetahuan, produktivitas, “on – job” atau kegiatan kegiatan manajerial. Sedangkan pembayaran yang berdasarkan ras, kelompok etnis, dan jenis kelamin, dilarang oleh hukum dan kebijaksanaan umum.
Disamping sejumlah tujuan yang ingin dicapai melalui program kompensasi, masih ada permasalahan lain yang perlu mendapatkan perhatian. Menurut Sulistiyani dan Rosidah (2003). Beberapa faktor yang mempengaruhi kompensasi adalah; 1).Kebenaran dan keadilan Kompensasi harus didasarkan pada kondisi riil yang telah dikerjakan oleh pegawai, artinya disesuaikan dengan kemampuan, pendidikan,kecakapan dan jasa yang telah diberikan kepada organisasi. 2). Dana organisasi. Kemampuan organisasi memberikan kompensasi diberikan baik berupa financial maupun non financial disesuaikan dengan dana yang tersedia. 3). Serikat pekerja. Para karyawan yang tergabung dalam serikat pekerja dapat mempengaruhi pelaksanaan kompensasi, karena serikat pekerja merupakan simbol kekuatan dalam menuntut perbaikan nasibnya. 4).Produktifitas kerja. Produktifitas kerja pegawai merupakan faktor yang mempengaruhi prestasi kerja, sedangkan prestasi kerja merupakan faktor yang diperhitungkan dalam penetapan kompensasi.5).Biaya hidup. Penyesuaian biaya hidup kompensasi dengan biaya hidup pegawai pegawai dengan keluarganya sehari-hari merupakan suatu hal yang layak/wajar dan perlu mendapatkan perhatian dalam penetapan kompensasi.6).Pemerintah. Interpensi pemerintah untuk menentukan besaran kompensasi sangat diperlukan.


D. Indikasi Sistem Reward dan punishment yang dikategorikan berhasil.

Menurut Siagian (1995), rasa keadilan dapat membuat karyawan menjadi puas terhadap kompensasi yang diterimanya. Sebaliknya, pihak perusahaan juga berharap bahwa kepuasan yang dirasakan oleh karyawan akan mampu memotivasi karyawan tersebut untuk meningkatkan kinerjanya, sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai. Apabila hal ini dapat terwujud, sebenarnya bukan hanya tujuan perusahaan yang tercapai, namun kebutuhan karyawan juga akan terpenuhi.
1. Pekerjaan itu sendiri.
Pekerjaan itu sendiri yaitu karakteristik pekerjaan yang dimiliki, tugas yang menarik, peluang untuk belajar dan kesempatan untuk bertanggung jawab menunjukkan kecenderungan untuk senang atas pekerjaannya. Bila perusahaan mampu mempengaruhi semangat dan kegairahan kerja karyawan, maka akan memperoleh banyak sekali keuntungan.
Menurut Alex. S.Nitisemito (1984 : 150) keuntungan-keuntungan tersebut antara lain: (a). Pekerjaan akan lebih cepat diselesaikan. (b). Kerusakan akan dapat dikurangi. (c). Absensi akan dapat diperkecil. (d). Perpindahan karyawan dapat diperkecil. (e). Produktivitas kerja dapat ditingkatkan. (f). Ongkos per-unit dapat diperkecil.
2. Upah
Upah yang merupakan hal yang berhubungan langsung berhubugan dengan kepuasan kerja, namun kepuasan itu tidak semata-mata karena upah. Karena upah merupakan dasar untuk mendapatkan kepuasan selanjutnya. pemenuhan upah. Kategori keberhasilan reward dan panishmant juga dapat dilihat kemampuan pimpinan memenuhi dan memamfaatkan sumber daya secara maksimal. Adanya peningkatan efesiensi dan efekifitas pengelolaan sumber daya manusia melalui pembagian tanggung jawab yang jelas, dan transparan, adalah salah satu indikator yang penting.Selain itu tumbuhnya kemandirian dan kekurang tergantungan dikalangan karyawan perusahaan, bersifat adaktif dan proaktif, serta memiliki jiwa kewirausahaan tinggi,juga merupakan indikator terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan penghargaan selanjudnya.
3. Peluang promosi.
Peluang promosi akan mempengaruhi kepuasan kerja, karena itu merupakan bentuk lain dari pemberian penghargaan. yang dilakukan oleh karyawan tersebut. Kategori keberhasilan sistem reward dan punishment dapat dilihat dari kesempatan untuk promosi jabatan ke jenjang yang lebih baik. Adanya kesiapan karyawan untuk berkompotisi secara sehat dengan karyawan lainnya dalam kesempatan untuk promosi, upaya dan inovatif dengan dukungan pimpinan merupakan indikator keberhasilan sistem reward dan punishment.
4. Pengawasan
Pengawasan, dari dua dimensi pengawasan yaitu employee centeretness dan partisipasi maka, situasi kerja sama yang ditunjukkan oleh pengawas akan memiliki pengaruh pada kepuasan kerja. Kategori keberhasil sistem reward dan punishment dapat dilihat dari terintegrasinya pengawasan. Adanya peningkatan kinerja karyawan yang dapat dicapai melalui kemandirian dan inisiatif pengawas karyawan dalam mengelola dan mengunakan sumber-sumber yang tersedia.
5. Rekan kerja
Rekan kerja, secara alami kondisi rekan kerja akan sangat mempengaruhi semangat kerja karyawan. Kepuasan karyawan dapat dilihat dari sejauh mana kerja sama antara rekan kerja karyawan didalam melaksanakan tugasnya, sebaliknya yang di kategorikan sistem reward dan punishment dapat dilihat pada adanya kerja sama, baik sesama karyawan maupun antara karyawan dengan atasan dalan organisasi untuk mencapai tujuan .
Semua sistem reward dan punishment yang baik tidak bisa dilihat dari satu sudut kepentingan organisasi sebagai pemakai tenaga kerja saja atau kepentingan pegawai saja, tetapi kepentingan dari berbagai pihak yang turut terlibat baik langsung maupun tidak langsung.
Sedangkan sistem reward dan punishment merupakan salah satu alat untuk memotivasi para karyawan untuk mewujudkan tujuan organisasi yang telah ditetapkan itu. Sistem reward dan punishment umumnya diberikan sebagai imbalan atas perilaku kerja individual, tetapi dapat pula diberikan kepada kelompok.
Implikasi dari Sistem reward dan panisnhment menunjukkan bahwa ada dikotoni antara pemimpin sebagai superordinat (superordinate) dan pengikut sebagai subordinat (subordinate) sejauh menyangkut peran dan fungsi. Namun terlepas dari itu, Kepala unit sebagai pemimpin yang efektif, harus menawarkan pemberian Sistem reward dan panisnhment yang adil dan bijaksana untuk memudahkan proses pelayanan pada masyarakat.
Dengan demikian, jelaslah bahwa sistem reward dan panisnhment yang berbeda mengundang perilaku yang berbeda. Tidak ada jaminan bahwa sistem reward dan panisnhment dapat mempengaruhi keberhasilan perusahaan.

E. Kerangka Pikir
Dalam penelitian ini, penulis merujuk pada pendapat yang dikemukakan oleh Wahyuningsih (2009) juga mendefinisikan reward adalah penghargaan/hadiah untuk sesuatu hal yang tercapai. Sedangkan punishment adalah hukuman atas suatu hal yang tidak tercapai/pelanggaran. Hukuman seperti apa yang harus diberikan. Setiap orang pasti beda persepsi dan beda pendapat. Pada dasarnya keduanya sama-sama dibutuhkan dalam memotivasi seseorang, termasuk dalam memotivasi para pegawai dalam meningkatkan kinerjanya. Keduanya merupakan reaksi dari seorang pimpinan terhadap kinerja dan produktivitas yang telah ditunjukkan oleh bawahannya, hukuman untuk perbuatan jahat dan ganjaran untuk perbuatan baik. Melihat dari fungsinya itu, seolah keduanya berlawanan, tetapi pada hakekatnya sama-sama bertujuan agar seseorang menjadi lebih baik, termasuk dalam memotivasi para pegawai dalam bekerja.
Sedangkan indikator sistem reward dan punishment yang diketegorikan berhasil penulis berdasarkan pada teori Steers & Porter (1991) bahwa tinggi rendahnya kinerja pekerja berkaitan erat dengan sistem pemberian kompensasi yang diterapkan oleh lembaga/organisasi tempat mereka bekerja. Pemberian kompensasi yang tidak tepat berpengaruh terhadap peningkatan kinerja seseorang. Ketidaktepatan pemberian kompensasi disebabkan oleh ; (1) pemberian jenis kompenasasi yang kurang menarik (2) pemberian penghargaan yang kurang tepat tidak membuat para pekerja merasa tertarik untuk mendapatkannya. Akibatnya para pekerja tidak memiliki keinginan meningkatkan kinerjanya untuk mendapatkan kompensasi tersebut
Kerangka pikir tidak lain dimaksudkan memberi arah bagi penelitian agar tidak keluar dari fokus penelitian, kerangka gambar 1 memperlihatkan beberapa elemen yang berkaitan.
1. Deskripsi berbagai sistem reward dan punishment dalam pandangan teoritis yang dikategorikan berhasil khususnya pada Kantor perum Damri Makassar
2. Mendeskripsi faktor-faktor sistem reward dan punishment yang dapat dijadikan acuan teoritis berdasarkan kesederhanaan, dikotoni yang jelas, dan memudahkan didalam kegiatan penelitian.
3. Keefektifan sistem reward dan punishment yang diberlakukan oleh Pimpinan Perum Damri Makassar dilihat dari masing-masing sistem reward dan punishment yang berhasil memajukan perusahaan.
4. Mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi sistem reward dan punishment yang dikategorikan berhasil.












Gambar 1. Bagan alur kerangka pikir













BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian dan lokasi penelitian
Jenis penelitian yang dipilih adalah penelitian kualitatif, yaitu penelitian data yang bersifat kualitas, subyektif, dan fenomenologis.
Lokasi penelitian dipilih pada Kantor Perum Damri Makassar, masing-masing dikategorikan sistem reward dan punishment yang dikategorikan berhasil meningkatkan kinerja karyawan dengan menggunakan kriteria tertentu.

B. Sumber Data / Jenis Data
Jenis penelitian terdiri atas : data primer dan data sekunder,
a. Data primer
Data primer adalah Kepala Unit dan tiga kepala seksi dari masing-masing bagian yang menerapkan sistem reward dan punishment yang dikategorikan berhasil. Data primer tersebut adalah subyek yang akan memberi informasi mengenai pengalaman mereka menyangkut pelaksanaan sistem reward dan punishment yang mereka terapkan pada karyawan.
b. Data sekunder
Untuk melengkapi informasi dari data primer, penelitian ini juga melibatkan unsur lain, yaitu data Sekunder, yaitu beberapa orang karyawan dari masing-masing bagian yang dipiiih dengan cara purpossive sampling, terutama untuk mengklariflkasi informasi dari masing-masing data primer. Informasi yang diperoleh dari para data sekunder ini diperoleh melalui wawancara mendalam tak terstruktur. Jumlah data sekunder mungkin saja berbeda untuk masing-masing bagian, bergantung pada informasi yang dibutuhkan. Jika data atau informasi dianggap sudah "jenuh", maka pencarian sampel untuk subyek sekunder pada sekolah yang bersangkutan akan dihentikan.

C. Fokus penelitian dan deskripsi fokus
a. Fokus penelitian
Berdasarkan ungkapan masalah penelitian, penelitian ini difokuskan pada analisis kualitatif tentang sistem reward dan punishment yang diterapkan pada karyawan Perum Damri Makassar, serta memperhatikan faktor-faktor yang memengaruhi sistem reward dan punishment tersebut.
b. Deskripsi fokus
Untuk menghindari kerancuhan dalam pendefenisikan, maka berikut dikemukakan definisi operasional dari beberapa faktor atau variabel yang menjadi fokus dari penelitian ini;
1. Sistem reward artinya ganjaran, hadiah, penghargaan atau imbalan yang diterima atas prestasi kerja. Dalam konsep manajemen, reward merupakan salah satu alat untuk peningkatan motivasi para pegawai. Reward dapat berwujud banyak rupa. Paling sederhana berupa kata-kata seperti pujian adalah salah satu bentuknya, yang diharapkan untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien.
2. Punishment diartikan sebagai hukuman atau sanksi. Jika reward merupakan bentuk reinforcement yang positif; maka punishment sebagai bentuk reinforcement yang negatif, tetapi kalau diberikan secara tepat dan bijak bisa menjadi alat motivasi. Tujuan dari metode ini adalah menimbulkan rasa tidak senang pada seseorang supaya mereka jangan membuat sesuatu yang jahat. Jadi, hukuman yang dilakukan mesti bersifat pedagogies, yaitu untuk memperbaiki dan mendidik ke arah yang lebih baik.
3. Faktor-faktor yang memengaruhi sistem reward dan punishment yang dimaksudkan dalam penelitian ini, meliputi: faktor intern organisasi, pribadi karyawan yang bersangkutan, dan faktor ekstern pegawai organisasi.
A. Faktor Intern Organisasi
Faktor interen organisasi yang mempengaruhi besarnya kompensasi adalah dana organsasi, dan serikat pekerja.
a. Dana Organisasi
Kemampuan organisasi untuk melaksanakan kompensasi tergantung pada dana yang terhimpun untuk keperluan tersebut. Terhimpunnya dana tentunya sebagai akibat prestasi-prestasi kerja yang telah ditujukan oleh karyawan. Makin besarnya prestasi kerja maka makin besar pula keuntungan organisasi/perusahaan. Besanya keuntungan perusahaan akan memperbesar himpunan dana untuk kompensasi, maka pelaksanaan kompensasi akan makin baik. Begitu pula sebaliknya.
b. Serikat pekerja
Para pekerja yang tergabung dalam seikat pekerja juga dapat mempengaruhi pelaksanaan atau penetapan kompensasi dalam suatu perusahaan. Serikat pekerja dapat menjadi simbol kekuatan pekerja di dalam menuntut perbaikan nasib. Keberadaan serikat pekerja perlu mendapatkan perhatian atau perlu diperhitungkan oleh pihak manajemen.
B. Faktor Pribadi Karyawan
Faktor pribadi karyawan yang mempengaruhi besarnya pemberian kompensasi adalah produktifitas kerja, posisi dan jabatan, pendidikan dan pengalaman serta jenis dan sifat pekerjaan.
a. Produktifitas kerja
Produktifitas kerja dipengaruhi oleh prestasi kerja. Prestasi kerja merupakan faktor yang diperhitungkan dalam penetapan kompensasi. Pengaruh ini memungkinkan karyawan pada posisi dan jabatan yang sama mendapatkan kompsasai yang berbeda. Pemberian kompesasi ini dimaksud untuk meningkatkan produktifitas kerja karyawan.
b. Posisi dan Jabatan
Posisi dan jabatan berbeda berimplikasi pada perbedaan besarnya kompensasi. Posisi dan jabatan seseorang dalam organisasi menunjukkan keberadaan dan tanggung jawabnya dalam hierarki organisasi. Semakin tinggi posisi dan jabatan seseorang dalam organisasi, semakin besar tanggung jawabnya, maka semakin tinggi pula kompensasi yang diterimanya. Hal tersebut berlaku sebaliknya.
c. Pendidikan dan Pengalaman
Selain posisi dan jabatan, pendidikan dan pengalaman kerja juga merupakan faktor yang mempengaruhi besarnya kompensasi. Pegawai yang lebih berpengalaman dan berpndidikan lebih tinggi akan mendapat kompensasi yang lebih besar dari pegawai yang kurang pengalaman dan atau lebih rendah tingkat pendidikannya. Pertimbangan faktor ini merupakan wujud penghargaan organisasi pada keprofesionalan seseorang. Pertimbangan ini juga dapat memacu karyawan untuk meningkatkan pengetahuannya.


d. Jenis dan Sifat Pekerjaan
Besarnya kompensasi pegawai yang bekerja di lapangan berbeda dengan pekerjaan yang bekerja dalam ruangan, demikian juga kompensasi untuk pekerjaan klerikal akan berbeda dengan pekerjaan adminsitratif. Begitu pula halnya dengan pekerjaan manajemen berbeda dengan pekerjaan teknis. Pemberian kompensasi yang berbeda ini selain karena pertimbangan profesioalisme pegawai juga kerena besarnya resiko dan tanggung jawab yang dipikul oleh pegawai yang bersangkutan. Sebagai contoh, dikebanyakan organisasi/perusahaan pegawai yang bertugas di lapangan biasanya mendaptkan kompenasai antara 2 – 3 kali lipat dari pekerjaan di dalam ruangan/kantor. Besarnya kompensasi sejalan dengan besarnya resiko dan tanggung jawab yang dipikulnya.

C. Faktor Ekstern
Faktor ekstern pegawai dan organisasi yang mempengaruhi besarnya kompensasi adalah sebagai berikut :
a. Penawaran dan Permintaan kerja
Mengacu pada hukum ekonomi pasar bebas, kondisi dimana penawaran (supply) tenaga kerja ebih dari permintaan (demand) akan menyebabkan rendahnya kompensasi yang diberikan. Sebaiknya bila kondisi pasar kerja menunjukkan besarnya jumlah permintaan tenaga kerja sementara penawaran hanya sedikit, maka kompensasi yang diberikan akan besar. Besarnya nilai kompensasi yang ditawarkan suatu organisasi merupakan daya tarik calon pegawai untuk memasuki organisasi tersebut. Namun dalam keadaan dimana jumlah tenaga kerja lebih besar dari lapangan kerja yang tersedia, besarnya kompensasi sedikit banyak menjadi terabaikan.
b. Biaya hidup
Besarnya kompensasi terutama upah/gaji harus disesuaikan dengan besarnya biaya hidup (cost of living). Yang dimaksud biaya hidup disini adalah biaya hidup minimal. Paling tidak kompensasi yang diberikan harus sama dengan atau di atas biaya hidup minimal. Jika kompensasi yang diberikan lebih rendah dari biaya hidup minimal, maka yang terjadi adalah proses pemiskinan bangsa.
c. Kebijaksanaan Pemerintah
Sebagai pemegang kebijakan, pemerintah berupaya melindungi rakyatnya dari kesewenang-wenangan dan keadilan. Dalam kaitannya dengan kompensasi, pemerintah menentukan upah minimum, jam kerja/hari, untuk pria dan wanita, pada batas umur tertentu. Dengan peraturan tersebut pemerintah menjamin berlangsungnya proses pemakmuran bangsa hingga dapat mencegah praktek-praktek organisasi yang dapat memiskinkan bangsa.
d. Kondisi Perekonomian Nasional
Kompensasi yang diterim oleh pegawai di negara-negara maju jauh lebih besar dari yang diterima negara-negara berkembang dan atau negara miskin. Besarnya rata-rata kompensasi yang diberikan oleh organsasi-organisasi dalam suatu negara mencerminkan kondisi perekonomian negara tersebut dan penghargaan negara terhadap sumber daya manusianya.



D. Instrumen Penelitian dan Metode Pencatatan Data
Karena penelitian ini menuntut pengamatan berperan serta, maka peranan peneliti adalah menentukan bagi keseluruhan, skenario penelitian. Karenanya peneliti adalah instrumen utama dalam penelitian ini. Sebagai instrumen penelitian, peneliti memosisikan diri ke dalam segi responsif, adaptatif (membangun raport), menekankan keutuhan, dan mendasarkan diri pada pengetahuan, proses, ikhtisar dan pemanfaatan kesempatan untuk mengungkapkan fenomena teoretis yang ditemui di lapangan, Dalam pelaksanaannya, kegiatan penelitian ini didukung oleh beberapa instrumen pendukung dan instrumen pencatatan dalam melaksanakan kegiatan lapangan. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai instrumen penelitian, peneliti menggunakan pedoman wawancara dan pedoman observasi.
Selain itu, untuk mencatat data yang diperoleh baik yang bersumber dari dokumen, wawancara-wawancara, maupun pengamatan-pengamatan langsung di lapangan, digunakan berbagai instrumen pencatatan, sebagai berikut.
1. Catatan Lapangan adalah: catatan yang digunakan pada situasi pengamatan tidak berperan serta. Catatan lapangan adalah laporan mengenai gambaran umum yang singkat.
2. Log Book Pengalaman Lapangan adalah: Instrumen pencatatan berupa buku untuk mencatat semua hasil kegiatan lapangan yang bersumber dari catatan lapangan yang disusun secara "sistematis. Baik Log book Pengalaman Lapangan maupun Catatan Lapangan digunakan sebagai data atau informasi yang akan dipakai pada tahap kegiatan analisis. Dan analisis data akan dimulai sejak hari pertama pengumpulan data, yang dimulai dengan penyusunan kategori-kategori.
3. Catatan Hasil wawancara: adalah kuesioner yang diisi sendiri oleh pengamat, bukan oleh subyek. Tujuan dari Catatan Kuesioner ini adalah untuk memberikan umpan balik kepada pengamat dalam menyusun narasi atas hasil rekaman suara pada saat wawancara berlangsung.

E. Analisis Data, Penarikan Kesimpulan, dan Pemeriksaan Keabsahan
a. Analisis data
Sebagaimana dalam hal pengumpulan data, analisis dalam penelitian ini juga tidak dilakukan dengan pentahapan. Pengumpulan data dan analisis data dilakukan bersamaan selama masa penelitian lapangan. Kegiatan pengumpulan data lapangan yang dilaksanakan bersamaan dengan analisis data. Namun secara kronologis, analisis data dilakukan dalam beberapa tahap, sebagaimana diuaraikan berikut: (1) tahap pengelolaan data (data managing), dimana diciptakan sistem pengarsipan dan pengorganisasian data dilakukan berdasarkan jenis data yang dikumpulkan; (2) tahap pembacaan dan pemodean (reading and memoing}, yakni menyempurnakan pencatatan-pencatan hasil wawancara, membuat catatan-catatan margin dan membentuk kode-kode awal pada tiap kelompok data; (3) tahap penguraian, di mana peneliti menguraikan dan memilah berbagai pernyataan yang berbeda dari para subyek yang diwawancarai; (4) tahap pengkalisikasian (classifying}, yakni tahap di mana diupayakan menemukan dan mendaftarkan pernyataan-pernyataan dari hasil wawancara mendalam dengan subyek utama, dan subyek sekunder dan mengelompokkan pernyataan-pernyataan sejenis ke dalam unit-unit interpretasi, termasuk pengalaman empiris dari para subyek utama penelitian; (5) tahap penginterpretasian data (interpreting} dengan mengembangkan deskripsi struktural dengan mengembangkan interpretasi yang mengarah pada jawaban atas masalah penelitian; (6) Tahap Pendeskripsian, dimana dikembangkan deskripsi menyeluruh tentang esensi pengalaman peneliti mengenai pikiran dan pemaknaan subyektif para subyek yang dikembangkan dan dideskripsi,
b. Penarikan kesimpulan
Penarikan kesimpulan dari penelitian ini dimulai dengan mereduksi jumlah kategori, sekaligus memperbaiki rumusan dan integrasinya. Deskripsi fenomena yang terungkap dari hasil analisis data, dilengkapi dengan narasi-narasi teoretis, dan akhirnya semua hasil penelitian yang mengerah pada jawaban atas masalah-masalah penelitian ditarik sebagai kesimpulan.
c. Pemeriksaan keabsahan data
Untuk menyakinkan bahwa semua data yang dihimpun memiliki keabsahan, maka penelitian ini menggunakan kriteria tertentu untuk melihat derajat kepercayaan atau kebenaran atas hasil penelitian. Kriteria itu mengacu pada model pemeriksaan keabsahan data oleh Moleong (2005), dengan 4 (empat) teknik.
1). Derajat kepercayaan (credibility)
Kriteria ini berfungsi untuk melaksanakan penyelidikan sedemikian rupa sehingga tingkat kepercayaan penemuan dapat dicapai. Beberapa cara yang dilakukan agar kebenaran hasil penelitian dicapai, antara lain dengan:
a) Ketekunan/keajegan pengamatan. Dalam penelitian ini, ketekunan pengamatan adalah menggali ciri-ciri dan unsur dalam situasi yang sangat relevan.
b) Triangulasi. Triangulasi dilakukan dengan mewawancarai beberapa subyek lain yang diambil dan perusahaan lain di tempat lain, untuk mengecek kebenaran data dan informasi yang diperoleh dari subyek utama.
c) Pemeriksaan melalui diskusi. Teknik ini dilakukan dengan mendiskusikan hasil sementara atau yang diperoleh dalam bentuk diskusi dengan rekan sejawat. Rekan sejawat dalam hal ini adalah rekan-rekan yang memiliki pengetahuan yang sama tentang apa yang sedang diteliti, sehingga bersama mereka peneliti dapat me-review persepsi, pandangan dan analisis yang sedang dilakukan. Dalam studi ini, rekan sejawad adalah para mahasiswa program studi APB kekhususan manajemen publik, atau para peserta seminar lainnya,
d) Analisis kasus negatif. Teknik ini dilakukan dengan jalan mengumpulkan contoh dan kasus yang tidak sesuai dengan pola dengan kecenderungan informasi yang telah dikumpulkan dan digunakan sebagai bahan pembanding.
e) Mengadakan member check. Member check adalah pengecekan dengan anggota yang terlibat dalam pengumpulan data yang menyangkut data, kategori analitis, penafsiran, dan kesimpulan. Pada penelitian ini, member check dilakukan dengan mengadakan diskusi di antara subyek utama penelitian, yakni para karyawan yang menjadi subyek utama. Ini memberi kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari hakekat dari jawaban responden, di samping untuk memperbaiki kekeliruan terhadap interpretasi data yang mungkin terjadi.
f) Mengadakan audit trial. Audit trial adalah pengecekan kembali secara satu-persatu seluruh proses penelitian dimulai dari pengumpulan data.penghimpunan, pengategorian, analisis data sampai pada penyimpulan. Audit trial dapat dilakukan bersama dengan dengan komisi penasihat.
2) Keteralihan (transferable}
Keteralihan merupakan validasi external yang didasarkan pada konteks empiris setting penelitian, yaitu tentang "emic" yang diterima oleh peneliti dan "emic"yang merupakan hasil interpretasi peneliti. Derajat keteralihan dapat dicapai melalui uraian yang cermat, rinci, tebal atau mendalam serta adanya kesamaan konteks antara pengirim dan penerima. Keteralihan dilakukan dengan cara uraian rinci (thick description}, yaitu menguraikan data yang cukup banyak untuk mencapai persamaan antara konteks pengirim (emic) dan konteks penerima (etic).
3). Kebergantungan (dependebilitfi).
Dilakukan untuk memeriksa akurasi pengumpulan dan analisis data. Agar derajat reliabilitas dapat tercapai, dilakukan audit atau pemeriksaan yang cermat terhadap seluruh komponen dan proses penelitian serta hasil peneiitiannya. Untuk mengecek salah-benarnya hasil penelitisn, dilihat dari keterkaitan atau kebergantungan antara hasil penelitian dengan anaiisis dan interpretasi yang dilakukan sebelumnya. Untuk kegiatan pengecekatan tersebut, peneliti akan selalu mendiskusikannya dengan komisi penasihat. Hasil yang dikonsultasikan antara lain proses penelitian dan taraf kebenaran data serta tafsirannya.
4), Kepastian (confomability)
Yaitu obyektivitas yang berdasarkan pada perpektif "emid dan perspektif "etic" sebagai tradisi penelitian kualitatif. Derajat ini dicapai melalui audit atau pemeriksaan yang cermat terhadap seluruh komponen dan proses penelitian serta hasil penelitiannya. Audit dalam penelitian ini adalah peneliti itu sendiri dan auditor dalam penelitian ini adalah komisi penasehat. Pemeriksaan menyangkut kepastian asal-usul data, logika penarikan kesimpulan dari data dan penilaian derajat ketelitian serta telaah terhadap kegiatan peneliti tentang keabsahan data.




















F. Jadwal Kegiatan Penelitian

Tabel 1. Jadwal kegiatan penelitian

NO Kegiatan Studi/ penelitian Waktu Pelaksanaan
Feb-2011 Mar 2011 Aprl-2011 Mei 2011
1 Penyusunan proposal
2 Konsultasi proposal
3 Pelaksanaan seminar proposal
4 Perbaikan / revisi proposal
5 pengurusan izin penelitian
6 Pengumpulan data
7 Pengelolaan dan analisis data
8 Penyusunan laporan penelitian
9 Pelaksanaan seminar hasil
10 Perbaikan laporan penelitian
11 Penyajian laporan (Ujian tesis)
12 Selesai


K. Daftar pustaka
Arikunto Suharsini, 2001 Metode penelitian, Penerbit Gramedia, Jakarta.
-------------------------. 2002, prosedur penelitian suatu pendekatan praktek, Edisi Revisi, Penerbit PT Reneka, Jakarta.

Dessler, G. 2000. Human Resource Management. 8th edition. New Jersey: Prentice-Hall,Inc.

Dharma, Surya., 2005, Manajemen Kinerja, cetakan Pertama, Yogyakarta,Pustaka
Pelajar.

Ellis, C,W, Management Skill for New Manager, 2005, American Management
Association.

Gomez-Mejia, L.R., D.B. Balkin, dan R.L. Cardy. 1995. Managing Human Resources.Englewood Cliffs: Prentice-Hall, Inc.

Hasibuan Malayu,2001, Manajemen Sumber Daya Manusia,Edisi Revisi,Penerbit Bumi Aksara,Jakarta
-------------------------,2007, Manajemen Dasar,pengertian, Dan Masalah,Edisi Revisi,Penerbit Bumi Aksara,Jakarta.

Hatid Patilima,2007 Metode penelitian kualitatif, penerbit Alfabeta.

http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/07/teori-kompensasi.html

http://ridwaniskandar.files.wordpress.com/2009/05/8-kompensasi-sdm.pdf

http://adln.lib.unair.ac.id/files/disk1/221/gdlhub-gdl-s3-2009-sutadji-11025-dise-k.pdf

Hersey, P., dan K.H. Blanchard. 1995. Manajemen Perilaku Organisasi: Pendayagunaan Sumber Daya Manusia. Edisi keempat. Jakarta: Erlangga.

Ilyas, Y, 1997, Kinerja: Teori, Penilaian dan Penelitian, Fakultas Kesehatan
MasyarakatUniversitas Indonesia, Jakarta.
.........., 2001, Kinerja: Teori, Penilaian dan Penelitian, Fakultas Kesehatan
MasyarakatUniversitas Indonesia, Jakarta.

J. Long (1998:8) Compensation in Canada. Online http://jurnal-sdmku.blogspot.com/2011/1/teori-kompensasi.html

Luthan Fred (1995) Organisation Behavior, Edition New York

Lawler, E.E. 1983. Sistem Imbalan dan Pengembangan Organisasi. Jakarta: PustakaBinaman Pressindo.
Luthans, F. 1998. Organizational Behavior. 8th edition. New York: The McGraw-HillCo., Inc.

Nitisemito, A.S. 1996. 45 Wawasan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Pustaka UtamaGrafiti.

Mondy, R.W., R.M. Noe, dan S.R. Premeaux. 1999. Human Resource Management. 7thedition. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Rosvinintia,Vinta,2008, Using Good Performance Management System ToAttract, Motivate, And Retain Employee By Reward Program.Makalah Sebagai salah satu syarat dalam program Certified Human Resources Profesional (CHRP). Universitas Katolik Indonesia Atmajaya

Ridwan, 2003, Skala pengukuran variable-Variable penelitian, cetakan kedua,Penerbit Alfabeta, Bandung.
------------, 2004, Belajar mudah penelitian untuk guru, Karyawan dan peneliti pemula, cetakan pertama, penerbit Alfabeta, Bandung

Robbins, S.P. 1996. Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi, Aplikasi. Jakarta:Prenhallindo

Robbins, S.P. 2001. Organizational Behavior. 9th edition. New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Schuler, R.S., dan S.E. Jackson. 1999. Manajemen Sumber Daya Manusia: MenghadapiAbad Ke-21. Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Siagian, S.P. 1995. Teori Motivasi dan Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta.

Sedarmayanti, 2003, Sumber Daya Manusia dan produktivitas kerja, Cetakan kedua. Penerbit CV Mandar Maju.Bandung

Setyabudi Indarto,2000,Aplikasi Sistem Kompensasi Dan Kepuasan Karyawan Pada PT Kuala Pelabuhan Indonesia IrianJaya.Suatu Kajian Teoritis dari Persfektif Manajemen Kualitas.Yokyakarta Universitas GajahMada

Public Administration Community pada 27 November 2010 jam 5:45
Wahyuningsih,Hery 2009 Reward and Punishment (online) htt://Jengheny.com/reward-and-punishment, dikses tanggal 10 Desember 2010.

Wibowo ,2007, Manajemen Kinerja Devisi buku Perguruan Tinggi,PT Jasa Grafindo Persada,Jakarta
Lampiran 1
CATATAN LAPANGAN
Hari/Tanggal :
Kode Latar : Halaman
NO URAIAN CATATAN Kode dan catatan pinggir


















Lampiran 2
BUKU HARIAN (LOG BOOK)
PENGALAMAN LAPANGAN
Hari/Tanggal :
Kode Latar : Halaman
NO URAIAN CATATAN Kode dan catatan pinggir


















Lampiran 3
CATATAN HASIL WAWANCARA
Hari/Tanggal :
Kode Latar : Halaman
NO URAIAN CATATAN Kode dan catatan pinggir

Jumat, 25 Maret 2011

good gevernance

GOVERNANCE DAN KRISIS TEORI ORGANISASI
Raja ali S.Sos
Abstract
The economic liberalization, political democratization and governmental decentralization have significantly brought about the changes in the public sector management. The dominant roles of the state as a regulator as well as provider of public goods and services have massively eroded, and subsequently replaced by society (nonstate actors). Consequently, the vertical relationships among actors either within the state institution or, generally, in social relations are getting out of fashion. At the present, the model of government have been replaced by the newly model, that is, governance. In this model, the inter‐organizational relationships grow to be much more significant characteristic, rather than inter‐organizational patterns. Many practitioners in government, who had habitually employed the hierarchical patterns, faced many difficulties to understand and to place their position in those chaotic and anarchical situations. Meanwhile, the organization theories, which have widely focused in the intra‐organizational model, have no significant contributions to cope with these changes. As a matter of fact, this paper endeavors to
search for a new model of relation management, which possibly captures the more horisontal relationships in the inter‐organizational arenas.
Kata Kunci: governance, teori organisasi, hubungan horisontal, interorganisasional Governance means there is no one centre but multiple centres; there is no sovereign authority ...”
(Rhodes 1997: 109)















Pengantar
Dalam sejarah pemerintahan daerah di Indonesia di masa Orde Baru,Undang‐undang No.5/1974 menempatkan Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai penguasa tunggal di daerah. Sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, mereka menjadi pemimpin seluruh lembaga negara yang lain, yaitu lembaga legislatif, yudikatif, kepolisian dan militer, yang tergabung dalam Musyawarah pimpinan Daerah (Muspida). Mereka juga secara otomatis menjadi Ketua Dewan Pembina Golkar sebagai partai pemerintah di wilayah kerjanya masing‐masing. Bekerja dalam setting sistem politik yang otoriter, para penguasa tunggal tersebut juga mempunyai kapasitas kontrol politik yang kuat terhadap organisasi sosial, politik dan ekonomi. Pembangkangan terhadap kebijakan penguasa tunggal bisa berakibat pada penggunaan undang‐undang subversi untuk membungkam Perlawanan dan memperoleh ketundukan (Mac Andrews, 1986; Devas, 1989).
Relasi antara penguasa tunggal dengan masyarakat luas tersebut menggambarkan pola relasi yang hierarkis dan otoriter. Keteraturan dalam pemerintahan dibangun melalui mekanisme otoritatif dengan menggunakan instrumen pemaksa, baik berupa hukum maupun penggunaan kekerasan.
Kebijakan publik tidak banyak dibangun melalui kesepakatan para pihak yang terkait, tetapi lebih berupa penggunaan otoritas yuridis dalam pola relasi yang hierarkis. Dalam struktur politik semacam ini, para pemimpin mudah untuk membangun kedisiplinan, ketaatan dan keteraturan.
Namun, kondisi tersebut kini sudah berakhir. Sejalan dengan proses demokratisasi, hak‐hak politik warga negara untuk mengemukakan pendapat dan berserikat dijamin oleh konstitusi dan mekanisme politik. Relasi antara pejabat negara dengan masyarakat tidak selalu bersifat hierarkis. Kebijakan publik, keteraturan dan kedisiplinan tidak lagi mudah dipaksakan, tetapi harus melalui
mekanisme negosiasi untuk membangun konsensus (Budiman et. all, 2000; Hadiz,2005). Gaya pemerintahan era Orde Baru yang bersifat otoritatif tidak lagi efektif untuk dipergunakan, dan oleh karena itu diperlukan cara baru untuk menjamin kedisiplinan dan kesepakatan. Tulisan ini tidak secara spesifik membahas tentang pergeseran perpolitikan di Indonesia, apalagi membahas tentang desentralisasi. Penggambaran di atas hanya untuk menunjukkan terjadinya kesulitan pendekatan intra‐organisasional untuk mengelola relasi horisontal dalam setting politik baru. Pembahasan akan dimulai dengan kemunculan liberalisasi ekonomi dan politik yang menjadi
fenomena dalam satu dekade terakhir. Pergeseran dari pola government ke governance ini mengakibatkan munculnya kebutuhan untuk menemukan pendekatan pengelolaan kepemerintahan yang baru. adanya kebutuhan untuk membangun pendekatan jaringan dalam setting relasi antar‐organisasi daripada dalam setting internal‐organisasi.
Liberalisasi dan Keterbatasan Negara
Sejarah pemerintahan modern sampai dengan dekade 1970an diwarnai dengan persaingan yang sangat ketat antara sosialisme dengan liberalisme. Sosialisme menempatkan institusi negara sebagai aktor dominan dalam pengelolaan kepentingan masyarakat dengan menekankan pada mekanisme otoritatif. Sementara itu liberalisme tidak mengharapkan negara yang dominan,walaupun tetap membutuhkan negara kuat, dan oleh karenanya mendorong peran pasar yang dominan. Peta pertarungan ini bukan saja mewarnai peta politik global di era perang dingin yang mempertentangkan Barat dan Timur, tetapi juga pertarungan ideologi kebijakan di internal masing‐masing negara.
Dekade 1980an dan 1990an menjadi saksi kemorosotan peran negara yang akut yang terjadi di hampir seluruh belahan bumi (Pierre dan Peters, 2000: 4). Di negara‐negara Eropa, terutama di Inggris, kemenangan kelompok kanan baru (new rights) yang sangat liberal membawa implikasi pada serangkaian besar perubahan struktur ekonomi politik domestik. Perubahan‐perubahan besar yang dilakukan merupakan respon terhadap beratnya beban fiskal yang ditanggung oleh pemerintah untuk membiayai kepentingan publik. Padahal, pada sisi yang lain upaya untuk meningkatkan pendapatan publik, terutama melalui pajak, hampir tidak mungkin lagi dilakukan. Sementara itu bisnis‐bisnis yang dikelola pemerintah semakin merosot efisiensi dan daya saingnya. Untuk pertama kalinya, di bawah Perdana Menteri “sang tangan besi” Margareth Thatcher, di Inggris dijalankan gelombang privatisasi dan pemotongan anggaran publik secara besarbesaran. Orientasinya adalah untuk menarik kembali dan mengurangi intervensi pemerintah di ranah publik dan untuk memajukan pasar bebas (Wibowo danWahono, 2003). Apa yang dilakukan Thatcher di Inggris juga kemudian dikembangkan di Amerika Serikat di bawah pemerintahan Ronald Reagan. Periode panjang keterlibatan negara dalam urusan‐urusan domestik yang dimulai sejak zaman NewDeal‐nya Roosevelt telah berakhir, dan segera digantikan dengan babak pemerintahan baru ”New Federalism”. Pada periode pemerintahan Reagan ini
liberalisasi gencar sekali dilancarkan, terutama melalui deregulasi ekonomi, meskipun sebenarnya upaya ke arah ini sudah dirintis sejak tahun 1970an.Deregulasi ekonomi ini menjadi alat utama dalam liberalisasi di Amerika Serikat,
4
sementara privatisasi menjadi cara dominan dalam proyek liberalisasi di Inggris. Hal ini karena kepemilikan publik di Amerika tidak seluas di Inggris (Hertz, 2003).Namun demikian, ada benang merah yang menghubungkan antar keduanya. Baik Thatcher maupun Reagan percaya bahwa negara berperan sebatas regulator saja dan negara harus menjamin bahwa pasar terbuka bisa berjalan. Keduanya juga percaya terhadap prinsip trickle down effect (efek merembes ke bawah), bahwa kemakmuran individu melalui pasar bebas bisa mendorong kemakmuran bangsanya. Dalam waktu yang relatif singkat, setelah keberhasilan dua negara itu “menyelamatkan” negara dari petaka kebangkrutan ekonomi, ideide kanan baru itu menjadi demikian meluas (Priyono, 2003). Di negara‐negara Skandinavia yang sejak pasca Perang Dunia II mengadopsi sistem negara kesejahteraan (welfare‐state) dan full employment juga mengalami ketidakstabilan. Dalam sistem negara kesejahteraan ini, fungsi utama negara adalah untuk meredistribusi kekayaan dan sumberdaya, terutama melalui diversifikasi sistem pajak dan pemberian berbagai macam tunjangan publik. Kapasitas pemerintah untuk menyediakan belanja publik yang terus membesar tidak diimbangi dengan kemampuan untuk memungut pajak yang lebih besar. Karena struktur demografi yang dipenuhi oleh golongan tua yang menyerap banyak anggaran untuk belanja tunjangan, krisis fiskal melanda negara‐negara ini.Sementara itu kapasitas pemerintah untuk menjamin full employment juga semakin kesulitan karena kondisi pertumbuhan ekonomi yang stagnan dan melemahnya investasi. Kegelisahan publik atas instabilitas sistem ini bisa dilihat dari bertaburnya publikasi‐publikasi dengan tema “akhir” atau “masa depan” sistem
negara kesejahteraan yang demikian semarak sejak awal tahun 1980an (Kickert,Klijn dan Koppenjan, 1999).Monumen paling dramatis bagi keruntuhan dominasi negara dalam struktur ekonomi dan masalah‐masalah publik di dekade 1980an adalah ambruknya sistem komunisme Uni Soviet yang tidak diduga‐duga. Sejak Perang Dunia II, Uni Soviet berkembang menjadi negara yang paling maju setelah Amerika Serikat. Perkembangan politik internasional pada masa itu ditandai dengan pertentangan dua kutub kekuasaan yang banyak sekali menyedot perhatian para praktisi dan peneliti hubungan internasional. Kehancuran rejim komunis di Uni Soviet ini berimplikasi pada berakhirnya sistem sentralitas negara sebagai salah satu model pembangunan di dunia (Fukuyama, 1992; 2004). Di kawasan yang lain, kekuatan negara yang sempat membawa
pertumbuhan ekonomi yang tinggi di negara‐negara Asia pada tahun 1980an dan awal 1990an ternyata tidak bertahan lama. Gelombang krisis yang menyapu negara‐negara Asia pada pertengahan 1997 memporak‐porandakan struktur ekonomi politiknya. Negara model ini bukan hanya ambruk diterpa badai krisis finansial, tetapi juga mengalami krisis legitimasi yang berkepanjangan dan multidimensional seperti yang dengan jelas sekali ditunjukkan dalam kasus
Indonesia. Di Indonesia, gejala penolakan terhadap negara bukan hanya muncul di ranah ekonomi yang selama ini tidak berkembang karena adanya monopoli dan kapitalisme kroni yang dibangun selama Orde Baru. Namun juga, gerakan penolakan terhadap negara ini juga seiring dengan kebangkitan gerakan sosial (civil society) yang selama Orde Baru dikebiri. Dalam konteks yang demikian, peran dan intervensi pemerintah bukan hanya telah mengalami keterbatasan,tetapi dalam beberapa kasus dinilai menjadi sumber persoalan (Hadiz, 2005).Dalam kasus Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya, krisis ekonomi yang terjadi dimaknai sebagai ketidakberdayaan dan kegagalan negara. Sementara itu krisis politik yang berkelanjutan merupakan bentuk perlawanan terhadap dominasi negara yang terjadi pada masa sebelumnya. Fenomena memuluskan proses liberalisasi ekonomi dan politik yang terjadi di Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya.
Negara Dipaksa Terbuka dan Inklusif
Liberalisasi ekonomi dan privatisasi yang digambarkan di atas merupakan bukti dari kemerosotan dominasi negara dalam pengelolaan isu‐isu publik. Institusi negara memang tidak selalu menjadi lemah, namun yang minimal terjadi adalah arena kerja negara yang semakin menyempit. Desakan yang paling utama tertuju pada institusi negara di tingkat nasional yang ditarik dalam dua arus
sekaligus, yaitu arus globalisasi dan arus lokalisasi. Gagasan yang mengandaikan pemerintah nasional adalah aktor utama dalam kebijakan publik dan mengendalikan wilayah ekonomi dan sosial,nampaknya semakin tidak terbukti. Penggerusan terhadap peran pemerintah nasional ini terjadi melalui dua arah. Pada arah yang satu, aktor‐aktor dalam sistem internasional semakin kuat peran dan daya tekannya, terutama melalui kekuatan pasar modal internasional (Strange 1996). Sementara pada arah yang lain, peran‐peran lokal sebagai entitas sosial dan politik juga semakin menguat (Scharpf, 1985; Jordan 1990). Dengan demikian, asumsi tradisional mengenai
adanya kedaulatan negara yang unitaris dan eksklusif kini hampir tidak mungkin lagi diterapkan. Di era sekarang ini, pemerintah nasional harus berbagi kedaulatannya dengan lembaga supra‐negara dalam sistem internasional, dan sekaligus juga dengan entitas sosial politik di daerah‐daerah. Perkembangan lainnya yang mengakibatkan usangnya gagasan pemerintah‐dominan adalah semakin kuatnya pelaku bisnis, baik pelaku bisnis domestik maupun asing. Perkembangan industrialisasi yang membidani lahirnya masyarakat ekonomi industrial yang kokoh, mengakibatkan peran‐peran dan kekuatan‐kekuatannya menjadi tidak bisa diabaikan lagi oleh pemerintah. Hubungan pemerintah dan sektor privat kini tidak lagi bersifat subordinatif,
melainkan pemerintah harus terus menegosiasikan kepentingan‐kepentingannya dengan sektor privat ini. Bergesernya pola hubungan yang tadinya vertikal menjadi lebih horisontal ini menandai menguatnya pengaruh aktor‐aktor sosial dalam wilayah‐wilayah kebijakan publik. Gagasan tradisional yang sebelumnya menganggap negara adalah satu‐satunya organisasi yang mampu mengontrol dan mengatur masyarakat kini menjadi semakin tidak menemukan realititas
empiriknya (Rhodes, 1996).
Dengan bermunculannya aktor‐aktor yang penting selain negara dalam kehidupan sosial, maka peran negara tidak lagi sedominan sebelumnya.Perkembangan‐perkembangan ini juga berimplikasi pada semakin terbukanya negara sebagai sebuah arena kontestasi. Dengan semakin terbukanya arena negara ini, secara otomatis negara menjadi semakin bisa diakses oleh siapapun dengan berbagai macam kepentingannya. Digelindingkannya ide good governance yang menuntut ruang partisipasi publik, transparansi, rule of law dan akuntabel semakin memaksa negara untuk bersifat terbuka dan inklusif (Pratikno 2005). Lebih dari itu, institusi negara juga menghadapi pesaing‐pesaing baru. Ada banyak aktor baru yang siap menjalankan fungsi‐fungsi negara dengan lebih efektif, terutama dalam pemenuhan pelayanan publik. Sementara dalam isu‐isu yang lainnya, terutama dalam bidang pembangunan ekonomi dan penanganan isu‐isu sosial, negara tidak bisa lagi bertindak sendirian. Negara harus menegosiasikan kepentingannya dengan aktor‐aktor berpengaruh lainnya, terutama pelaku bisnis dan kalangan civil society. Dalam konteks ini, ungkapan Daniell Bell yang sangat terkenal bahwa “negara itu terlalu kecil untuk mengurus hal‐hal yang besar, dan terlalu besar untuk mengurus hal‐hal yang kecil” menjadi semakin relevan (Fukuyama, 2004) Gagasan pembatasan peran dan intervensi pemerintahan tersebut, secara otomatis menjadikan dorongan untuk memperkuat aktor‐aktor selain negara.
Dalam konteks Indonesia, penguatan aktor‐aktor non negara ini juga mendapatkan momentumnya pasca jatuhnya rejim otoriter Orde Baru. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan 1997 bukan hanya memporak‐porandakan struktur ekonomi pembangunan, tetapi juga mengakhiri praktik otoriterisme Orde Baru dan menjadi jalan bagi transisi demokrasi di Indonesia (Budiman et. al, 2000; Hadiz, 2005). Proses transisi menuju demokrasi ini berlangsung bersamaan dengan
gerakan sosial yang sedang bangkit, dan ide good governance yang sedang mendominasi wacana reformasi pemerintahan. Konsekuensi‐konsekuensi yang dimunculkan dari perkembangan ini sangat luas. Salah satu konsekuensi yang terpenting adalah pergeseran makna pemerintahan dan hubungan kekuasaannya dalam kehidupan sosial. Ide bahwa negara adalah lembaga yang berdiri di atas (stands over) dan menentukan domaindomain ekonomi dan sosial kini semakin usang. Sementara hubungan‐hubungan hierarkis yang ditegakkan melalui mekanisme regulasi juga semakin sulit diterapkan lagi. Meluasnya aktor‐aktor yang penting dalam kehidupan sosial, mengakibatkan terjadinya polarisasi kekuasaan yang sangat kompleks. Dalam konteks itu, fungsi pemerintah hanyalah mengakomodasi dan menegosiasikan kepentingannya di antara aktor‐aktor yang lain dengan bertindak sebagai fasilitator dan mediator. Di ranah kebijakan publik, perkembangan‐perkembangan itu berakibat pada semakin meluasnya medan kebijakan yang memungkinkan aktor‐aktor non negara untuk terlibat. Dalam perkembangan yang lebih baru, kebijakan itudidefinisikan sebagai hasil dari interaksi berbagai aktor yang memiliki kepentingan dan strategi yang kompleks (Klijn dan Koppenjan, 2000). Dalam konteks ketika negara bukanlah satu‐satunya agen perumus dan implementasi (planning and implementing agency) suatu kebijakan publik, fungsi steering terhadap hubungan‐hubungan para aktor yang kompleks dalam memformulasikan, pengambilan kebijakan maupun dalam implementasi kebijakan tersebut menjadi sangat sentral. Istilah governance without government yang pertama kali dipopulerkan oleh Rosenau dan Czempriel (1992) mungkin menjadi metafor yang hampir tepat untuk menggambarkan meluasnya kekuasaan dan terbatasnya peran dan kapasitas pemerintahan saat ini.
Horisontalitas dalam Governance
Format negara yang terbuka dan inklusif yang membuka interaksi intensif dengan pelaku bisnis dan komponen civil society tersebut sering dilabeli dengan istilah governance. Adalah laporan tahunan yang dibuat Bank Dunia pada 1989 dengan judul “Sub‐Saharan Africa: From Crisis towards Sustainable Growth” seolah menjawab problem keterbatasan yang inheren terkandung dalam gagasan pemerintahan dan kegagalan model‐model pembangunan di dunia. Melalui laporan ini pula untuk pertama kalinya istilah governance diperkenalkan secara luas (Abrahamsen, 2004). Dalam pandangan Bank Dunia, governance dimaknai sebagai “penggunaan
kekuasaan politik untuk mengatur dan mengelola bangsa”. Laporan tersebut juga menekankan pentingnya legitimasi politik dan konsensus bagi proses‐proses pembangunan yang berkelanjutan. Dalam rangka membangun konsensus itu, aktor‐aktor dari kelompok bisnis, pemerintah maupun civil society harus dikelola secara sinergis. Sementara, peran negara di sini tidak lagi hanya menjalankan fungsi‐fungsi regulatif, melainkan hanya menjalankan fungsi fasilitatif. Dengan
demikian, governance menurut versi Bank Dunia hanya bisa ditegakkan dengan jalan melibatkan aktor‐aktor non negara seluas‐luasnya dan dengan membatasi intervensi pemerintah (Pratikno, 2005: 234).
Dengan merujuk pada pengalaman pembangunan di negara‐negara Afrika Sub‐Sahara, argumen‐argumen dalam laporan itu dibangun pada asumsi bahwa negara (pemerintah) menjadi sumber masalah dan sumber kegagalan pembangunan. Resep yang ditawarkan adalah dengan membangun tata pemerintahan yang baik (good governance) yang pada prinsipnya mengurangi
intervensi dan peran pemerintah. Dalam pandangan ini, pemerintahan yang besar (big government) seringkali menjadi sumber bagi berkembangnya kepemerintahan yang buruk (bad governance), yang menjadi sarang bagi berbagai sumber kegagalan pembangunan. Dalam mengatasi kegagalan pembangunan ini, menurut Bank Dunia, pemerintah adalah dimensi pertama yang harus direformasi. Ide reformasi pemerintahan yang diinisiasi Bank Dunia melalui ide good
governance dalam operasionalisasinya segera diikuti dengan rumusan, apa yang kemudian dikenal sebagai, Konsensus Washington. Naskah ini memuat 10 butir rumusan good governance yang disepakati melalui pertemuan antara Bank Dunia,IMF dan Departemen Keuangan Amerika Serikat (Hayami, 2003). Sepuluh butir rumusan dalam Konsensus Washington itu adalah:
1. Disiplin fiskal;
2. Konsentrasi belanja publik pada barang‐barang publik, termasuk sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur;
3. Reformasi perpajakan dengan memperluas basis pajak dan tarif pajak yang moderat;
4. Bunga bank yang dikendalikan oleh mekanisme pasar;
5. Nilai mata uang yang kompetitif;
6. Liberalisasi perdagangan;
7. Keterbukaan terhadap investasi asing;
8. Privatisasi perusahaan negara dan daerah;
9. Deregulasi yang menghambat pasar asing berkembang atau membatasi kompetisi; dan
10. Jaminan hukum untuk kepemilikan (property rights).

Perkembangan ide good governance ini meluas demikian cepat, dan menjadi perspektif baru dalam pengelolaan pembangunan. Di Indonesia, pengaruh berkembangnya good governance itu sangat luas dan memiliki implikasi yang kompleks. Sejak hempasan gelombang krisis ekonomi 1997, perspektif reformasi ekonomi yang pro‐pasar sangat dominan menguasai wacana reformasi
pemerintahan di Indonesia. Implikasinya, gagasan good governance yang berkembang di Indonesia menjadi miskin kontekstualisasi dan dalam prakteknya hanya menjadi sebatas “sound development management” (Pratikno, 2005: 237). Dalam pengertian ini, good governance hanya dibatasi pada isu yang sifatnya administratif yang hanya mencakup aturan dan desain kelembagaan yang mendorong terciptanya administrasi publik yang transparan, terbuka, efisien dan akuntabel (Leftwitch, 1996: 15‐16).
Dalam konteks reformasi di Indonesia, diadopsinya prinsip‐prinsip good governance itu berkembang dalam waktu yang hampir bersamaan dengan diterapkannya sistem desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Melalui berbagai desain workshop dan pelatihan, prinsip‐prinsip good governance sebagai fondasi penyelenggaraan pemerintahan segera terdiseminasikan secara luas ke daerah‐daerah yang pada saat itu sedang mengalami “kegagapan”
penyelenggaraan pemerintahan dalam kerangka baru otonomi daerah. Dengan demikian, prinsip‐prinsip dalam good governance sekarang ini tidak hanya menjadi kekuatan pendorong (driving forces) bagi penciptaan tata pemerintahan yang baik, tetapi juga berkembang menjadi suatu standar bagi penyelenggaraan pemerintahan secara umum. Dalam tataran administrasi dan manajemen publik, gagasan good governance ini dikembangkan dalam beberapa varian, seperti New Public Management, Marketbased Public Administration, Enterpreneurial Government, atau istilah‐istilah lain yang sejenis (Hughes, 1994). Seiring dengan gagasan governance yang hendak
meminimasi fungsi pemerintahan, varian‐varian gagasan dalam administrasi publik ini juga berjalan searah. Intinya adalah pada upayanya yang hendak mengadopsi logika pasar ke dalam mekanisme birokrasi pemerintah. Menurut R.A.W Rhodes (1996), gagasan‐gagasan baru dalam model administrasi publik di atas mengandung dua pengertian utama, yakni sebagai managerialisme dan sebagai the new institutional economics. Makna managerialisme merujuk pada diadopsinya prinsip‐prinsip pengelolaan sektor swasta sebagai metode baru pengelolaan sektor publik. Sistem managerialisme ini menekankan pada pentingnya aplikasi manajemen professional, standar pengukuran kinerja yang eksplisit, berorientasi pada hasil, berorientasi pada kepuasan pelanggan, dan value for money (Hughes, 1994).

Sementara melalui makna adminsitrasi publik sebagai the new institutional economics, Rhodes merujuk pada pengenalan struktur insentif ke dalam prosesproses penyediaan pelayanan publik. Gagasan the new institutional economics ini menekankan pada pentingnya pembatasan peran birokrasi dalam pelayanan publik secara langsung dan memberikan pilihan‐pilihan pelayanan yang luas kepada masyarakat melalui mekanisme pasar atau quasi‐pasar dengan mekanisme contracting‐out maupun memanfaatkan agen‐agen swasta. Dengan demikian, gagasan administrasi publik yang itu senafas dengan gagasan good governance yang hendak meminimasi peran‐peran negara. Dalam tataran yang lebih praktis, gagasan‐gagasan itu diterjemahkan dalam
karya Ted Gaebler dan David Orsbone (1992), dalam Reinventing Government yang dikenal luas di Indonesia. Buku ini menjadi semacam manifesto bagi model penyelenggaraan pemerintahan baru yang mengadopsi prinsip‐prinsip kewirausahaan dalam pemerintahan. Dalam konteks entrerpreunerial government ini, governance diartikan sebagai kapasitas steering, kemampuan mengelola aktoraktor yang kompleks dalam perumusan dan implementasi kebijakan publik atau
dalam penyampaian pelayanan publik. Dalam ungkapan Rhodes (1996), “moregovernance is more steering”, yang berarti pula less‐government dan less‐rowing.Sejalan dengan ide mengurangi peran dan intervensi negara, kajian‐kajian mengenai governance kemudian lebih banyak diarahkan pada peran‐peran aktor diluar pemerintahan. Menariknya, meskipun pada awalnya kajian ini bertolak dari upaya mengurangi pemerintah, namun kajian ini berkembang sangat dinamis. Bahkan dalam beberapa level menunjukkan perbedaan yang amat tajam dengan
gagasan governance sebagai enterpreunerial government sebagaimana telah dibahas.
Sebagai contoh adalah definisi governance yang diajukan oleh Tokyo Institute of Technology. Menurutnya konsep governance itu merujuk pada “the set of values, norms, processes, and institutions by which society manages its development and resolves conflict, formally and informally” (Weiss, 2000). Dalam pengertian ini, governance justru berkaitan dengan perilaku dan kapasitas masyarakat dalam mengelola kepentingan bersama serta menyelesaikan konflik antar mereka dalam kerangka kelembagaan yang formal maupun secara informal dalam praktik kehidupan sehari‐hari.
Masih berkaitan dengan definisi governance dan peran‐peran masyarakat, UNDP merumuskan definisi governance sebagai: “the exercise of economic, political, and administrative authority to manage a country’s affairs at all levels [which] comprises mechanisms, processes, and institutions through which citizens and groups articulate their interests, exercise their legal rights, meet their obligations and mediate their differences” (Weiss, 2000). Dalam konsepsi UNDP itu, prinsip‐prinip partisipasi, transparansi,akuntabel, rule of law, responsif, berorientasi pada konsensus, equity serta inclusiveness menjadi pondasi penting bagi tegaknya governance.
Dalam dua rumusan definisi governance yang terakhir itu, kata kuncinya adalah pada consensus bulding dan akomodasi kepentingan sebagai basis untuk membangun sinergi. Selain mengandaikan pada bekerjanya lembaga negara secara baik, pengertian‐pengertian governance ini juga mendorong pada penguatan lembaga‐lembaga pasar dan civil society. Dengan demikian, fungsi‐fungsi akomodasi kepentingan dan membangun konsensus dari governance bisa berjalan
seimbang. Di sini, peran pemerintah menjadi relatif setara dan hubunganhubungan kekuasaan antara negara, pasar dan masyarakat menjadi relatif otonom dan horisontal. Implikasinya, proses‐proses negosiasi kepentingan (bukannya regulasi) menjadi sentral dalam setiap perumusan, pengambilan, dan implementasi kebijakan publik (Peters dan Pierre, 1998). Namun demikian, walaupun pada awalnya New Public Management (NPM) dan governance sama‐sama merupakan respon terhadap keterbatasan gagasan pemerintahan, namun perkembangan dan konsekuensi yang dimunculkannya berlainan. Tabel 1 menggambarkan perbedaan tersebut.

Tabel 1: Perbandingan Model NPM dan Governance
New Public Management Governance
Dimensi Persoalan Efektivitas Ketergantungan/interdependensi Orientasi ideologi lebih ideologis, yakni
menerapkan ideologi pasar bebas dalam sector‐sektor publik membangun elemen penting dalam demokrasi dengan memaksimalkan partisipasi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan Fokus berkitan dengan outcomes berkaitan dengan proses Cakupan relasi merupakan bagian dari reformasi intraorganisasional merupakan varian dari perspektif inter‐organisasional Instrumen reformasi Kontrol administrasi Fasilitasi, Mediasi, Co‐governance Usulan Reformasi Mengadopsi prinsip bisnis Pemerintah sebagai manajer Indikator Keberhasilan mekanisme dan standar pengukurannya lebih seragam, yakni berdasarkan prinsip‐prinsip ideologi pasar lebih dinamis dan tidak ada tipe ideal standar yang mesti dibangun (harus kontekstual)
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Dalam praktek reformasi pemerintahan di Indonesia, kerangka pikir New Public Administration telah tergantikan dengan kerangka pikir governance. Di ranah pemerintahan, liberalisasi politik berimplikasi pada berkembangnya hubunganhubungan kelembagaan pemerintahan yang semakin horisontal. Munculnya lembaga‐lembaga sampiran negara (state auxilary institutions), seperi Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan lainnya semakin menuntut pada perlunya mekanisme kordinasi yang baru. Bukan hanya itu, hubungan antara negara dengan sektor bisnis dan civil society juga berubah. Sejalan dengan semakin relatif otonomnya sektor‐sektor itu, hubungan antara negara dan dua sektor tersebut tidak lagi bersifat subordinatif. Negara tidak lagi bisa efektif untuk menggunakan mekanisme otoritatif dalam mengelola hubungan‐hubungan itu, melainkan harus selalu menegosiasikan kepentingan‐kepentingannya dengan sektor‐sektor yang lain. Mekanisme reformasi kelembagaan ala New Public Administration, yang mengadopsi prinsip‐prinsip efektivitas pasar dalam pengelolaan institusi, kini signifikansinya tergeser oleh perlunya managing complex governance (Kickert, Klijn, dan Koppenjan, 1999). Relasi horisontal yang semakin kuat dan meluas dalam proses kepemerintahan juga terasa dalam proses kebijakan publik. Dengan praktek governance, aktor‐aktor sosial di luar institusi negara mempunyai ruang untuk berperan yang semakin luas dengan daya pengaruh yang semakin kuat. Aktor sosial ini bisa berupa kekuasan politik akar rumput (grass roots), tetapi juga bisa elit sosial ekonomi di tingkat nasional maupun global. Proses kebijakan menjadi terbuka dalam pola relasi yang setara dan horisontal, yang seringkali diwarnai dengan kesulitan untuk membangun kesepakatan bersama.
Mencari Alternatif Pengorganisasian
Dalam konteks yang semakin horisontal itu, isu dan persoalan berkembang demikian bersilangan (cross‐cut) dan tidak bisa diselesaikan secara particular di bawah suatu departemen misalnya. Pada saat yang bersamaan, aktor‐aktor yang terlibat juga menjadi semakin luas karena adanya tuntutan partisipasi dalam governance. Bukan hanya aktor dalam lingkup organisasi pemerintahan sendiri, melainkan aktor‐aktor non‐pemerintah pun menjadi semakin signifikan posisinya. Gambaran Rhodes (1997) dalam memvisualisasikan governance barangkali paling
representatif untuk menunjukkan problematika pola interaksi baru ini. “Governance means there is no one centre but multiple centres; there is no sovereign authority because networks have considerable autonomy” (Rhodes, 1997: 109).
Dalam ranah hubungan kelembagaan politik, fenomena melemahnya kapasitas negara dalam memegang kendali koordinasi pada satu sisi, dan meluasnya sentrum‐sentrum aktor baru pada sisi lain, menuntut suatu model pengelolaan hubungan organisasional baru yang lebih efektif. Untuk menjawab persoalan ini, teori‐teori organisasi yang berkembang mengalami sejumlah keterbatasan. Persoalannya adalah pada miskinnya upaya untuk segera merespon perubahan empiris dalam hubungan‐hubungan organisasional lintas organisasi. Selama teori organisasi tidak memodifikasi diri untuk menangkap fenomena horisontalisme, teori organisasi akan menjadi semakin terasing karena akan mengalami krisis relevansi. Sebagai ikhtiar awal dalam mencari alternatif baru pengorganisasian itu, ada baiknya jika terlebih dahulu melakukan kajian perbandingan terhadap model pengorganisasian yang ada untuk mengukur keterbatasan dan potensi kesesuaian (compatibility) untuk dikembangkan.
1. Model Hierarki
Dalam literatur‐literatur tradisional mengenai kebijakan dan organisasi, telah berkembang asumsi umum bahwa hierarki merupakan bentuk ideal dalam menjamin berjalannya koordinasi dalam hubungan‐hubungan organisasional (Jennings dan Ewalt, 1998: 418). Apabila ditelusuri, asumsi umum ini sejalan dengan idealitas bentuk organisasi pemerintahan dan birokrasi publik yang
konsepsikan oleh Max Weber. Menurut Weber, birokrasi yang ideal itu harus memiliki sistem yang memungkinkan para administrator tidak bertindak semaunya dan atas kehendak pribadi. Mekanisme yang dibangun adalah relasi hierarkis antara politisi dengan birokrasi, serta relasi hierarkis di internal birokrasi (Thoha, 2003)
Model birokrasi Weberian ini dibangun berdasarkan prinsip bahwa sektor publik itu bersifat pluralis (Kjaer, 2004: 22). Artinya, setiap orang berdaulat untuk mengakses sektor publik itu dan setiap orang dapat menggunakan kekuasaannya melalui mekanisme pemilihan perwakilan. Lembaga perwakilan inilah yang akan mendefinisikan “kepentingan bersama” yang akan dijalankan oleh pemerintah (excutive power). Excutive power ini merupakan otoritas administratif tertinggi, yang menyiapkan kebijakan dan rancangan implementasi “kepentingan bersama”. Dalam hubungan pengorganisasian ini, ada pemisahan yang tegas antara politik dan administrasi. Para politisi tugasnya adalah membuat serangkaian tujuan, sementara tugas para administrator adalah mencari dan menentukan cara bagaimana mencapai tujuan itu. Dengan kata lain, formulasi dan implementasi kebijakan merupakan proses yang harus dijalankan secara sendiri‐sendiri.
Dalam hubungannya dengan entitas‐entitas yang lain, model ideal Weberian memandang negara dan masyarakat sebagai entitas yang secara tegas terpisah. Oleh karena negara merupakan manifestasi dan representasi dari kepentingan individu‐individu, maka atas nama kepentingan bersama negara dapat memaksakan aturan‐aturan dan memonopoli penggunaan kekerasan.
Sementara, hubungan pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah di bawahnya (sub‐government), yang meskipun pemerintah daerah‐pemerintah daerah itu memiliki tingkat otonomi yang luar biasa akan tetapi pemerintah pusat, tetap tidak akan menyerahkan beberapa otoritas legalnya. Menjamin koordinasi melalui mekanisme hierarki ini meliputi bagaimana mengelola hubungan negara dengan masyarakat, sekaligus bagaimana mengelola hubungan internal negara itu sendiri (Peters dan Pierre, 2000: 15).
2. Model Pasar
Dalam model hierarki, ada hubungan yang berbanding lurus antara fungsi koordinasi dengan fungsi kontrol. Artinya, semakin tinggi struktur kontrol dalam suatu organisasi atau lembaga, maka koordinasi dapat ditegakkan. Berseberangan dengan asumsi‐asumsi model hierarki ini, model koordinasi melalui mekanisme pasar menolak setiap bentuk pemerintahan yang besar (big government). Dalam model pasar, pemerintahan yang besar itulah yang dianggap akan menjadi sumber dari segala bentuk ketidakefektifan (Peters, 1998; Jennings and Ewalt, 1998).
Hubungan antara pemerintah dan masyarakat dalam model pasar ini bukanlah hubungan struktur kekuasaan sebagaimana model pertama, melainkan hubungan antara penyedia (provider) dan pelanggan (customers). Munculnya model pasar ini sebagian merupakan respon terhadap fenomena yang disebut sebagai defisit demokrasi. Seringkali, kedaulatan masyarakat yang diberikan kepada lembaga perwakilan tidak secara langsung dapat dipertanggungjawabkan kepada konstituennya. Sementara itu, konstituen tidak bisa mengontrol lembaga perwakilannya. Defisit demokrasi menggambarkan situasi keterputusan antara lembaga perwakilan yang bertugas mendefinisikan dan memformulasikan kepentingan masyarakat dengan konstituen yang telah memberikan mandat kepadanya (Peters, 1998).
Dalam situasi demikian, daripada mempercayakan kebijakan atas apa yang diperlukan masyarakat kepada lembaga pemerintahan yang belum tentu bertanggungjawab kepada konstitutennya itu, maka akan lebih efektif apabila pemerintah menggunakan prinsip‐prinsip pasar dalam perumusan kebijakan dan pelayanan publik. Di sini, masyarakat yang dianggap sebagai para pelanggan dapat secara langsung memilihnya melalui mekanisme transaksi.
3. Model Jaringan
Semenjak suatu organisasi mendistribusikan sistem‐sistem fungsionalnya pada unit‐unit atau departemen lain, sejak itulah kebutuhan akan koordinasi mengemuka dan berkembang semakin kompleks. Dalam hubungan‐hubungan intra‐organisasional, barangkali kebutuhan akan koordinasi ini dapat ditegakkan melalui mekanisme kontrol‐hierarkis. Namun ketika hubungan‐hubungan itu melibatkan organisasi‐organisasi yang lebih luas, maka upaya menjamin
koordinasi dalam setting inter‐organisasional itu akan semakin sulit. Oleh karena itu diperlukan mekanisme koordinasi yang mempunyai daya jangkau yang lebih luas, dan seringkali bersifat maya, tanpa wujud fisik yang jelas. Inilah yang biasa disebut dengan mekanisme jaringan.
Mekanisme jaringan didesain untuk menjamin berjalannya fungsi koordinasi dalam setting inter‐organisasional, atau multi‐lembaga. Bentuknya bebeda‐beda, dari yang paling kohesif seperti komunitas kebijakan (policycommunities) sampai yang paling rendah kohesifitasnya, seperti jejaring isu (issuenetworks) yang dipersatukan oleh kepedulian (Rhodes dan Marsh, 1992).
Mekanisme jaringan mengatur dan mengkoordinasikan sektor‐sektor kebijakan lebih berdasarkan pada preferensi para aktor yang terlibat daripada pertimbangan formulasi kebijakan publik. Dalam proses kebijakan, interaksi dibangun atas dasar kesalingtergantungan dan berjalan melalui mekanisme pertukaran sumberdaya.Implikasinya, kebijakan publik dalam model jaringan ini tidak lain merupakan hasil dari pertukaran informasi dan preferensi, cara dan strategi, serta hitunghitungan (trade‐off) tujuan dan sumber daya yang dilakukan antar aktor. Konsekuensi dari mekanisme jaringan ini adalah bahwa kebijakan publik menjadi lebih ditentukan oleh kepentingan para aktor yang terkait melalui proses negosiasi. Relasi pemerintah dengan aktor lain pun menjadi relatif lebih setara, dan pemerintah tidak lagi bisa dengan mudah memaksakan kepentingannya.
Dalam konteks ini, walaupun mekanisme jaringan ditujukan untuk mengelola sektor publik berdasarkan kepentingan aktor yang terkait, pemerintah tetapdituntut untuk akuntabel terhadap masyarakatnya (Pierre and Peters, 2000). Hubungan antara pemerintah dan mekanisme jaringan ini bersifat tergantung (dependence). Jaringan merupakan bentuk representasi kepentingan yang massif yang terdiri atas orang‐orang yang memiliki kapasitas, sehingga sangat potensial untuk menjadi elemen penting dalam proses‐proses kebijakan. Akan tetapi, jaringan juga dibangun berdasarkan aliansi kepentingan antar kelompok yang bisa jadi akan mengancam kepentingan pemerintah. Dalam ketegangan hubungan‐hubungan semacam itulah, mekanisme jaringan ini
memiliki keunikan yang khas.

Penutup
Perubahan‐perubahan pola relasional dan berbagai konsekuensi yang telahdibahas di atas sebenarnya merupakan bagian dari perkembangan kontemporer dalam masyarakat abad informasi. Menurut Linder dan Peters (1984), dunia politik dalam abad informasi itu mengalami dua kecenderungan besar.
Pertama, adalah berkembangnya sektorisasi pembuatan kebijakan sebagai konsekuensi dari kompleksitas isu masing‐masing sektor serta berkembangnya kelompok‐kelompok profesional. Meluasnya distribusi informasi semakin menuntut adanya trasparansi dari setiap pengambilan kebijakan dan implementasinya. Implikasinya, model pembuatan kebijakan yang monopolistik oleh negara menjadi tidak popular lagi. Proses‐proses pembuatan kebijakan saat ini lebih sering dilakukan dalam suasana yang relatif terbuka dengan aktor‐aktor yang relatif otonom.
Kedua, dunia politik dalam abad ini juga menuntut adanya pelibatan masyarakat yang lebih besar dalam proses pembuatan kebijakan. Perkembanganperkembangan sekarang ini malah menempatkan partisipasi bukan hanya dipandang sebagai instrumen atau cara dalam pembuatan kebijakan yang demokratis, melainkan partisipasi menjadi tujuan itu sendiri. Hal ini jelas sekali
dalam prinsip good governance yang telah menjadi perspektif dominan dalam mereformasi pemerintahan. Implikasinya, pembuatan kebijakan kini lebih merupakan kegiatan tawar menawar dan negosiasi, tidak lagi didesakkan dan diformulasikan oleh hierarki kekuasaan yang lebih tinggi secara sentralistik.
Problem yang harus dijawab oleh teori organisasi adalah bagaimana mengelola hubungan‐hubungan inter‐organisasional yang semakin terbuka arenanya dan semakin horisontal pola relasinya. Tentu saja model‐model pengorganisasian apapun yang digunakan akan selalu menentukan bentukinstrumentasinya, dan pada akhirnya menentukan apakah cara‐cara itu layak
dikembangkan atau tidak. Dalam konteks ini, cara pengelolaan relasi melalui model jaringan memiliki potensi besar untuk dikembangkan dalam teori‐teori organisasi. Meskipun potensi berhasil dan gagalnya model ini juga besar, akan tetapi problemnya bukan lagi berada pada level epistemologis (cara memandang persoalan) melainkan pada level strategi. Keberhasilan dalam model ini bisa diukur dari mampu tidaknya membangun tindakan kolektif (collective action) yang
didasarkan pada penciptaan tujuan bersama. Strategi yang mungkin bisa dikembangkan adalah, pertama, meningkatkan struktur insentif supaya jejaring itu bisa menjadi magnet bagi para aktor untuk berkoordinasi dan membangun konsensus. Strategi kedua adalah meningkatkan kemampuan manajerial yang secara inovatif mampu mengundang interaksi para aktor untuk berjejaring.Walaupun tidak mudah menciptakan format teori untuk merumuskan tindak bersama di antara aktor yang beragam dan otonom, namun hal ini merupakan tantangan yang harus dijawab oleh teoritisi organisasi.

Referensi
Pratikno (2007), ’Governance dan Krisis Teori Organisasi’ Jurnal Administrasi
Kebijakan Publik, November 2007, Vol. 12, No. 2, Yogyakarta: MAP UGM.
Abrahamsen, Rita (2004), Sudut Gelap Kemajuan: Relasi Kuasa dan Pembangunan
(Disciplining Democracy: Development Discourse and Good Governance in Africa),
Yogyakarta: Lafadl.
Budiman, Arif, Barbara Hatley, dan Damien Kingsbury (ed.) (2000), Harapan dan
Kecemasan: Menatap Arah Reformasi Indonesia (Reformasi: Crisis and Change in
Indonesia), Yogyakarta: Bigraf.
Devas, Nick (1989), Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, Jakarta: UI Press.
Fukyama, Francis (1992), The End of History and the Last Ma, New York: Free Press.
_______________ (2004), State‐Building: Governance and World Order in the 21st
Century, New York: Cornell University Press.
Gaebler, Ted and David Orsbone (1992), Reinventing Government: How the
Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector, Reading, MA: Addison‐
Wesley.
Hadiz, Vedi R (2005), Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Pasca‐Soeharto, Jakarta:
LP3ES.
Hayami, Yujiro (2003), ‘From the Washington Consensus to the Post‐Washington
Consensus’, Asian Development Review, Volume 20 No. 2.
Hertz, Norena (2003), ‘Hidup di Dunia Material: Munculnya Gelombang
Neoliberalisme’ dalam I. Wibowo dan F. Wahono ed. (2003), Neoliberalisme,
Yogyakarta: Cindelaras.
Hughes, Owen (1994), Public Management and Administration, New York: St. Martin
Press.
Jennings, Edward and Jo Ann G. Ewalt (1984), ’Inter‐organizational Coordination,
Administrative Consolidation, and Policy Performance’ Public Administration
Review, Vol. 58, No. 5 (Sep‐Oct, 1998), pp. 417‐428.
Kickert, Walter J.M., E.H. Klijn dan Joop F.M. Koppenjan (1999), Managing Complex
Networks: Strategies for the Public Sector, London: Sage Publications.
Kjaer, Anne‐Mette (2004), Governance, London: Polity Press.
Pratikno (2007), ’Governance dan Krisis Teori Organisasi’ Jurnal Administrasi
Kebijakan Publik, November 2007, Vol. 12, No. 2, Yogyakarta: MAP UGM.
18
Klijn, Erik‐Hans and Joop Koppenjan (2000), ‘Public Management and Policy
Networks: Foundations of a Network Approach to Governance’, Public
Management, Vol. 2 Issue 2, 2000. hal. 135‐158.
Leftwitch, Adrian (1996), ‘On the Primacy of Politics in Development’, dalam Adrian
Leftwitch (ed.) Democracy and Development, Cambridge: Polity Press.
Lindler, Stephen and B. Guy Peters (1984), ‘From Social Theory to Policy Design’,
Journal of Public Policy. Vol. 4 No. 3 (Aug. 1984), pp. 237‐259.
Mac Andrews, Colin (ed.) (1986), Central Government and Local Development in
Indonesia, Singapure: Oxford University Press.
Peters, B. Guy (1998), ‘Managing Horisontal Government: The Politics of Coordination’,
Canadian Centre for Management Development, research paper No. 21.
______________ and John Pierre (1998), ‘Governance Without Government? Rethinking
Public Administration‘, Journal of Public Administration Research and Theory,
Vol. 8: 2 hal 223‐243.
_________________________(2000), Governance, Politics and the State, London:
Macmillan.
Pratikno (2005), ‘Good Governance dan Governability’, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Volume VIII, Nomor 3, Maret 2005.
Priyono, B. Herry (2003), ‘Dalam Pusaran Neoliberalsime’ dalam Wibowo, I dan F.
Wahono, ed. (2003), Neoliberalisme. Yogyakarta: Cindelaras.
Rhodes, R. A. W. dan David Marsh (1992), ‘New Directions in the Study of Policy
Networks’, European Journal of Political Research, 21 (1‐2) hal. 181‐205.
Rhodes, R.A.W (1996), ‘The New Governance: Governing without Government’.
Political Studies, XLIV, 652‐67.
_______________ (1997), Understanding Governance, Buckingham: Open University
Press.
Rosenau, James and Ernnst‐Otto Czempiel (1992), Governance without Governement
Order and Change in World Politics, Cambridge: Cambridge University Press.
Sharpf, L.J. (1985), ‘Central Coordination and the Policy Networks’, Political Studies,
Vol 33.
Strange, Susan (1996), Retreat of the State: The Diffusion of Power in the World
Economy, Cambridge: Cambridge University Press.
Thoha, Miftah (2003), Birokrasi dan Politik di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Weiss, Thomas (2000), ‘Governance, Good Governance and Global Governance:
Conceptual and Actual Challenges’, Third World Quarterly Journal of Emerging
Areras, Volume 21 No. 5 Oktober.
Wibowo, I. dan F. Wahono (ed.) (2003), Neoliberalisme, Yogyakarta: Cindelaras.